BEBAS DARI TAURAT (ROM 7:1-25)
Dalam bagian ini Paulus membahas hubungan status
pembenaran dengan Taurat. Kaitan antara bagian ini dengan bagian-bagian
sebelumnya terletak pada beberapa poin:
(1) Pasal ini merupakan
elaborasi detail yang mencakup beberapa pembahasan singkat tentang Taurat di
bagian sebelumnya (3:19-20, 27-28; 4:13-15; 5:13-14, 20).
(2) Pasal 7:1-6 membentuk
paralelisme yang kuat dengan 6:15-23.
Pasal 6:15-23 mati untuk dosa à bebas dari dosa à dosa tidak menguasai
lagi
Pasal 7:1-6 mati untuk Taurat à bebas dari Taurat à Taurat tidak
menguasai lagi
(3) Pasal ini terkait
dengan pernyataan Paulus di 6:14 dan 15 (tidak di
bawah Taurat berarti kesempatan untuk berbuat dosa?). Dengan kata lain, kalau
di 6:15-23 Paulus lebih memfokuskan pada sisi dosanya, sekarang ia memfokuskan
pada Taurat. Ia ingin menjelaskan secara panjang lebar arti “tidak hidup di
bawah Taurat”.
Paulus mula-mula –melalui metafora pernikahan - memberikan argumentasi
bahwa orang percaya telah dibebaskan dari Taurat (ay. 1-6). Metafora ini
dilengkapi dengan beberapa catatan “negatif” tentang Taurat dalam kaitan dengan
dosa. Pernyataan ini pasti akan menimbulkan pertanyaan tentang posisi Taurat
dalam sejarah keselamatan, yaitu “apakah Taurat pada dirinya sendiri adalah
berdosa, padahal Taurat itu pemberian Allah?” (ay. 7). Pertanyaan kedua adalah
“seandainya Taurat itu baik (ay. 7-12), mengapa hal itu mendatangkan kematian?”
(ay. 13).
MATI UNTUK TAURAT (ROMA 7:1-6)
Berbeda dengan pembagian perikop LAI:TB, ayat 1-6 seharusnya menjadi satu
kesatuan pemikiran dan ayat 7-12 perikop lain yang terpisah. Ayat 1-6
memaparkan inti pembahasan Paulus, sedangkan ayat 7-12 merupakan antisipasi
terhadap kemungkinan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Sebagaimana Paulus
menggunakan metafora perhambaan untuk menjelaskan relasi orang percaya dengan
dosa, di pasal 7 ia juga memakai metafora untuk menggambarkan relasi orang
percaya dengan Taurat, yaitu metafora hukum perkawinan.
Struktur ayat 1-6 adalah sebagai berikut:
Prinsip umum: hukum mengikat seseorang hanya selama ia hidup (ay. 1)
Contoh: hukum perkawinan (ay. 2-3)
Aplikasi metafora: mati untuk Taurat dan menjalin hubungan dengan Yesus
(ay. 4)
Signifikansi transfer relasi (ay. 5-6)
Ayat 1. Ungkapan “apakah kamu tidak tahu” ("H avgnoei/te) mengindikasikan
bahwa isi pernyataan Paulus sudah dimengerti oleh penerima surat. Ia hanya
memakai prinsip umum pada waktu itu. Beberapa sarjana menganggap o`
no,moj di
sini sebagai hukum Romawi, hukum secara umum atau hukum Taurat. Ada beberapa
alasan untuk mengambil alternatif terakhir:
(1) Penggunaan no,moj di bagian-bagian sebelumnya
merujuk pada Taurat.
(2) Pasal 7 merupakan
elaborasi pertanyaan di 6:15, sedangkan no,moj di 6:15 merujuk pada Taurat.
(3) Inti 7:1 paralel
dengan beberapa tulisan para rabi (meskipun pentarikhan tulisan-tulisan
tersebut agak terlambat), misalnya b. Shabb. 30a, Shabb. 151b bar,
Str-B, 3.232, yang menyatakan bahwa jika seseorang mati, ia bebas dari ikatan Taurat.
(4) Contoh hukum
perkawinan di ayat 2-3 lebih bernuansa Yahudi (Taurat), misalnya ungkapan
“seorang istri” (lit. “seorang wanita
yang berada di bawah suami” (h` u[pandroj gunh., band. Bil 5:29).
Bagaimanapun, rujukan pada Taurat ini tidak berarti bahwa Paulus hanya
menujukan pasal 7 kepada jemaat Yahudi. Mereka yang berkultur non-Yahudi pasti
juga sudah memahami hal ini, karena yang disampaikan Paulus sifatnya sangat
umum.
Ayat 2-3. Untuk memperjelas poin yang ingin disampaikan, Paulus memberikan satu
contoh aplikasi dari prinsip umum di ayat 1. Ia memakai hukum perkawinan:
seorang istri terikat pada hukum perkawinan hanya selama suaminya hidup; jika
suaminya meninggal, ia bebas dari ikatan perkawinan dan bebas memilih laki-laki
lain sebagai suami. Implikasinya, jika seorang istri menikah lagi sebelum
suaminya meninggal, ia telah berbuat zinah. Poin yang ingin disampaikan Paulus
sebenarnya sudah jelas, tetapi analogi dari metafora ini dengan aplikasinya di
ayat 4 tampak tidak sesuai. Dalam metafora ini yang meninggal adalah suami dan
istri boleh menikah dengan laki-laki lain. Dalam aplikasi di ayat 4 – jika
dipadankan secara detail – yang meninggal adalah istri (baca: orang percaya)
dan istri yang meninggal tersebut
menjalin relasi dengan pihak lain (Yesus Kristus). Permasalahan ini
dapat dipecahkan dalam dua cara:
(1)
Dari
prinsip hermeneutika metafora/simbol. Suatu metafora biasanya hanya
menyampaikan satu poin utama. Dalam metafora ini intinya terletak pada
kebebasan yang dimiliki seseorang (entah itu suami atau istri) jika pasangannya
meninggal.
(2)
Dari
rujukan ayat 4. Ayat 4 bukan hanya aplikasi dari ayat 2-3, tetapi ayat pertama
juga. Sebagaimana ayat 2-3 menjelaskan lebih lanjut tentang prinsip umum di
ayat 1, demikian juga ayat 4 merupakan aplikasi dari ayat 1-3. Asumsi ini
didukung dengan pemakaian kata sambung w[ste di ayat 4 (bukan ou[twj).
Ayat 4. Kata sambung “sebab itu” (w[ste) menunjukkan Paulus sedang menarik konklusi atau
aplikasi dari ayat 2-3. “Mati bagi Taurat” di sini identik dengan “tidak berada
di bawah Taurat” di 6:14-15. Hal ini tidak hanya menjelaskan kebebasan dari
hukuman Taurat, tetapi – yang lebih penting - dari ‘kuasa’ Taurat sebagai
representasi era lama yang merangsang dosa. Ada dua argumentasi yang mendukung
asumsi ini:
(1) Mati bagi dosa di
pasal 6 – sebagai paralel dengan mati bagi Taurat – tidak membahas kebebasan
dari hukuman dosa (maut), tetapi kuasa dosa.
(2) Pasal 7:7-25 lebih
memfokuskan pada hubungan antara dosa dan Taurat yang
menghasilkan dosa. Bagian ini membahas ‘akibat’ Taurat (bukan hukuman Taurat).
Orang percaya telah mati bagi Taurat, sehingga semua ikatan dengan Taurat
telah terputus. Ada tiga aspek dari kematian bagi Taurat di ayat 4:
1.
Cara:
melalui tubuh Kristus.
sw,ma tou/ Cristou/ di sini tidak merujuk pada gereja (band. 1Kor 12). Orang
percaya tidak mati bagi Taurat melalui kooperasi dengan orang percaya yang
lain. sw,matoj
tou/ Cristou/ merujuk pada kematian Yesus. Persekutuan dengan kematian Kristus ini
sesuai dengan 6:3-5. Orang percaya memiliki relasi (persekutuan) objektif
dengan apa yang dilakukan Yesus di kayu salib (band. 5:12-21).
2.
Konsekuensi:
menjadi milik Kristus.
Struktur eivj
to. +
infinitif dalam ayat ini lebih mengindikasikan hasil daripada tujuan. Setelah
orang percaya mati bagi Taurat melalui penebusan Kristus, mereka terikat dengan
Yesus. Penambahan frase “kepada Dia yang dibangkitkan dari antara orang mati” (tw/|
evk nekrw/n evgerqe,nti) mengindikasikan bahwa relasi yang baru dengan Kristus
ini adalah sesuatu yang permanen (band. 6:9-10).
3.
Tujuan:
menghasilkan buah bagi Allah.
Beberapa sarjana memahami “menghasilkan buah” (karpofore,w) sebagai ungkapan
lain dari melahirkan (Barret, Sanday & Headlam, Fitzmyer), tetapi dugaan
ini memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan mendasar adalah penggunaan datif tw/|
qew/|
(bagi Allah). Seandainya “menghasilkan buah” = “melahirkan” seharusnya dipakai
datif tw/| cristw/| (bagi Kristus), karena orang percaya digambarkan
memiliki ikatan dengan Kristus. karpofore,w di sini pasti merujuk pada
arti buah secara umum seperti di 6:21-22.
Ayat 5-6. Seperti dalam 6:20-22, Paulus di 7:5-6 juga memuat
kontras antara kehidupan lama dan baru. Dalam bagian ini ia menjelaskan mengapa
kematian bagi Taurat merupakans esuatu yang penting. Penjelasan ini tercermin
dari kontras yang dipaparkan. Kata sa,rx (“daging”) di ayat 5 tidak
merujuk pada natur keberdosaan/kedagingan manusia (kontra NIV). “Hidup di dalam
daging” berarti hidup yang dikuasai oleh prinsip dan nilai manusiawi. Paulus
menggambarkan sa,rx sebagai kekuatan lain dari era lama. Tidak heran sa,rx di pasal 7-8 selalu
dikontraskan dengan Roh Kudus sebagai
kekuatan dalam kehidupan di era baru. Taurat merangsang (lit. “membangkitkan”)
hawa nafsu dosa bekerja dalam diri manusia. Taurat bukan hanya menyatakan dosa
(3:20), mengubah dosa menjadi pelanggaran (5:20), tetapi juga terlibat dalam
menghasilkan dosa. Standard ilahi yang
dinyatakan dalam Taurat merangsang natur keberdosaan manusia untuk secara
sengaja melawan standard tersebut. Bentuk imperfect evnhrgei/to (“dibangkitkan”)
merujuk pada tindakan yang dilakukan terus-menerus pada masa lampau. Semua
proses ini terjadi dalam “anggota-anggota tubuh” (me,loj, band. 6:13, 19) –
suatu frase yang merujuk pada seluruh aspek kehidupan manusia: pikiran,
perasaan, kehendak dan fisik. Hasil dari semuanya ini adalah kematian (maut,
band. 6:21, 23).
Berbeda dengan kehidupan lama di bawah Taurat – yang menghasilkan
dosa dan kematian (ay. 5) – kehidupan yang baru di luar Taurat membuat orang
percaya sekarang melayani dalam keadaan yang baru menurut Roh, bukan dalam
keadaan yang lama dalam huruf hukum Taurat. Ayat 6b secara literal
diterjemahkan “dalam kebaruan Roh dan kelamaan huruf”. Bentuk genitif pneu,matoj (Roh) dan gra,mmatoj (huruf) bisa
berfungsi secara epexegetical à “dalam kebaruan,
[yaitu] Roh dan bukan dalam kelamaan, [yaitu] huruf”. Genitif di ayat ini bisa
juga berfungsi secara subjective “dalam kebaruan yang dihasilkan oleh Roh
dan bukan dalam kelamaan yang dihasilkan oleh huruf”. Perbedaan makna di
antara dua pilihan tersebut tidak terlalu mendasar. Isu yang lebih penting
adalah makna kontras “Roh” dan “huruf” di sini. Beberapa memahami kontras ini
sebagai “tuntutan internal versus tuntutan eksternal”, “Roh versus penggunaan
Taurat secara legalistik”, dsb. Berdasarkan pemakaian kontras “Roh” vs “huruf”
di 2:27-29 dan 2Kor 3:6, kontras ini tampaknya antara perjanjian yang baru
dengan yang lama. Interpretasi ini didukung oleh kontras “ketika...sekarang” di
ayat 5-6 dan penggunaan kontras “lama-baru” dalam tulisan Paulus (2Kor 3:14;
5:17; Ef 4:22-24). Jadi, ayat ini mengajarkan bahwa kematian bagi Taurat
membawa orang percaya melayani Allah dalam keadaan (era) yang baru yang
berkaitan dengan Roh. Relasi antara karya Roh Kudus dan status orang percaya
dalam era yang baru akan dibahas secara lebih mendetail di pasal 8. Di 7:7-25
Paulus lebih terfokus pada penjelasan tentang bagaimana orang di luar Kristus
melayani dalam keadaan lama oleh hukum Taurat.
HUKUM TAURAT DAN DOSA (ROMA 7:7-25)
Sebagai antisipasi terhadap kesalahpahaman tentang ayat 5-6, Paulus
membuktikan bahwa Taurat pada dirinya sendiri adalah kudus. Taurat adalah milik
Allah (ay. 22), baik (ay. 12, 17), kudus (ay. 12), adil (ay. 12) dan rohani
(ay. 14). Penyebab utama bukanlah Taurat, tetapi dosa (ayat 7-12) dan
kedagingan manusia (ay. 13-25). Hal ini bukan berarti Paulus menarik kembali pernyataannya
di ayat 5-6. Ia tetap menghubungkan eksistensi Taurat dengan dosa. Taurat telah
menjadi instrumen yang dipakai oleh dosa dan kedagingan manusia untuk
mengeksploitasi semua tindakan kejahatan. Ide pemikiran di balik gagasan ini
mungkin berasal dari Kejadian 2-3. Ular (Iblis) justru telah menggunakan
perintah Allah yang baik (Kej 2:16-17) untuk menjatuhkan manusia.
Dalam bagian ini (ayat 7-25) ada dua isu utama
yang biasanya diperdebatkan. Pertama, apakah identitas dan maksud Paulus
menggunakan kata ganti orang “aku” di ayat 7-25? Apakah ia sekedar menceritakan
pengalaman pribadi? Mewakili manusia pada umumnya? Inti permasalahan biasanya
dikaitkan dengan arti ayat 9-10 “Dahulu aku hidup tanpa hukum Taurat.
Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup, sebaliknya aku
mati.”. Kedua, apakah “aku” di ayat 13-25 adalah Paulus sebelum atau sesudah
bertobat? Pertanyaan kedua akan dibahas secara khusus dalam bagian selanjutnya.
Bagian ini hanya mencoba menjelaskan pertanyaan pertama.
Ada beberapa interpretasi utama terkait dengan hal ini:
(1) “Aku” adalah
pengalaman pribadi Paulus. Pengalaman ini dituliskan karena unik dan mewakili
pengalaman setiap manusia.
(2) “Aku” adalah Adam.
(3) “Aku” adalah bangsa
Israel.
(4) “Aku” tidak merujuk
pada siapa-siapa. Penggunaan kata ganti “aku” hanya sekedar gaya retoris.
Mayoritas sarjana umumnya menyetujui bahwa “aku” adalah Paulus sendiri,
tetapi mereka berbeda pendapat tentang kapasitas Paulus sebagai “aku”. Paulus
pasti tidak sedang menceritakan pengalamannya, sebab hal itu tidak akan
memiliki nilai argumentatif sama sekali bagi pandangan Paulus di ayat 7-25. Ia
kemungkinan sedang menceritakan pengalamannya sebagai representasi semua orang
(atau Israel secara khusus).
HUKUM TAURAT YANG
BAIK VS DOSA (ROMA 7:7-12)
Ayat 7-12 seharusnya merupakan satu perikop baru (kontra LAI:TB):
(1) Pertanyaan “Ti, ou=n” (lit. “Jadi
bagaimana...?”) di ayat 7 selalu dipakai Paulus untuk memulai suatu perikop
yang baru (band. 3:1; 3:9; 4:1; 6:1; 6:15).
(2) Ayat 7 membentuk
inclusio dengan ayat 12. Pertanyaan “apakah hukum Taurat dosa?” dijawab dengan
“hukum Taurat itu kudus dan benar”.
Struktur ayat 7-12 dapat dibagi sebagai berikut:
Taurat bukan merupakan dosa (ay. 7a)
Taurat berperanan dalam tindakan dosa (ay. 7b-8)
Akibat: dosa hidup, manusia mati (ay. 9-11)
Konklusi: Taurat adalah kudus, benar dan baik (ay. 12).
Ayat 7a. Pernyataan Paulus di ayat 5-6 bisa menimbulkan kesan bahwa hukum Taurat
bersifat negatif (dosa). Untuk mengantisipasi kemungkinan kesalahpahaman
tentang hal ini Paulus menyatakan bahwa hukum Taurat pada dirinya sendiri
adalah benar dan kudus. Pernyataan positif di atas tidak berarti bahwa tidak
ada kaitan langsung antara Taurat dan dosa.
Ayat 7b-8. Dalam bagian ini Paulus menjelaskan ‘peranan’ Taurat dalam menghasilkan
dosa. Kata avlla. (LAI:TB “tetapi”)
sebaiknya dimengerti secara restrictive “walaupun”. Taurat bukan hanya
memberitahu bahwa suatu tindakan adalah dosa (pelanggaran, 4:15; 5:13-14),
tetapi juga menyebabkan manusia ‘mengenal’ dosa. “Mengenal” di sini bukan hanya
secara kognitif, tetapi juga pengalaman. Setelah Taurat diberikan manusia
menjadi semakin memahami (merasakan langsung) keberdosaan dosa. Dosa menjadi
bekerja (ay. 8) dan hidup (ay. 9-10). Pengambilan contoh dari genelarisasi
perintah ke-10 bersumber dari pemikiran
Yahudi yang menganggap “keinginan” merupakan akar semua dosa (4Mak 2:6; Yak
1:15; Philo), sehingga perintah “jangan mengingini” dianggap sebagai rangkuman
semua perintah yang ada. Paulus selanjutnya menjelaskan bagaimana manusia bisa
mengenal keberdosaan dosa dalam kaitan dengan Taurat:
1.
Taurat
membuat manusia paham tentang arti “mengingini” (ay. 7b).
Frase ini tidak berarti bahwa sebelum Taurat manusia tidak tahu arti
keinginan. Ini menunjukkan bahwa setelah ada Taurat manusia baru menyadari
natur sesungguhnya dari “keinginan”. Keinginan merupakan suatu kekuatan yang
selalu ingin memberontak terhadap Allah.
2.
Taurat
memberi kesempatan dosa untuk membangkitkan rupa-rupa keinginan (ay. 8).
Setelah perintah Allah – sebagai pedoman bagi manusia – diberikan, dosa
justru memanfaatkan hal itu untuk membangkitkan hal-hal yang bertentangan
dengan perintah tersebut. Dosa, sebagaimana digambarkan di pasal 6, adalah
suatu kuasa dalam era lama yang memang selalu berusaha membawa manusia melawan
Allah. Sebagaimana pemikiran etika umum, sebuah larangan justru memotivasi
orang untuk melanggar guna mengetahui alasan di balik pelarangan tersebut.
Ayat 9-11. Penjelasan di atas membuktikan ketidakmampuan manusia melakukan Taurat.
Taurat diberikan dengan maksud yang baik, yaitu supaya manusia dapat hidup, namun kekuatan dosa
dalam diri manusia justru menghasilkan hal yang sebaliknya: bukan manusia yang
hidup, tetapi dosa yang justru hidup. Dosa telah menipu dan membunuh manusia.
Ayat 12. Ayat ini merupakan konklusi bagi seluruh perikop atau penjelasan bagi ayat
7a. Taurat tidak dosa. Sebaliknya, Taurat adalah kudus (karena berasal dari
Allah yang kudus), benar (tidak ada salah) dan baik (tujuannya untuk hidup
manusia). Permasalahan bukan terletak pada Taurat, tetapi pada dosa dalam diri
manusia.
HUKUM TAURAT YANG
BAIK VS EGO (ROMA 7:13-25)
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, bagian ini menimbulkan
banyak perdebatan seputar identitas “aku”. Secara umum dapat dibagi menjadi
dua: Paulus sebelum bertobat atau sesudah bertobat. Solusi terhadap pertanyaan
ini sebenarnya tidak mempengaruhi inti ayat 13-25. Bagaimanapun, identifikasi
ini tetap diperlukan.
Argumentasi yang mendukung “aku” sebagai Paulus yang belum bertobat:
(1)
Relasi
yang kuat antara “aku” dan “daging” (ay. 14, 18, 25) mendukung asumsi bahwa
Paulus sedang menjelaskan keadaan orang yang belum bertobat (band. 7:5).
(2)
“Aku”
dalam bagian ini berjuang dengan usaha sendiri (terutama ay. 25) tanpa bantuan
dari Roh Kudus.
(3)
“Aku”
berada di bawah kuasa dosa (ay. 14b), sedangkan orang percaya telah dibebaskan
dari situasi tersebut (6:2, 6, 11, 18-22).
(4)
Perjuangan
yang gagal di ayat 15-20 membuat “aku” menjadi tawanan hukum dosa (ay. 23), padahal
orang percaya sudah dibebaskan dari hukum dosa (8:2).
(5)
Orang
percaya memang masih bergumul dengan dosa (6:12-13; 13:12-14; Gal 5:17), tetapi
yang digambarkan di 7:14-25 bukan hanya pergumulan, sebaliknya sebuah kekalahan
dari dosa.
(6)
“Aku” di
sini bergumul dengan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan Taurat, padahal Paulus
sudah mengajarkan bahwa orang percaya bebas dari tuntutan Taurat (6:14; 7:4-6).
Argumentasi yang mendukung “aku” sebagai Paulus yang sudah bertobat:
(1) Sebagaimana ayat 7-12,
“aku” di sini pasti merujuk pada Paulus. Pergantian tense dari bentuk lampau
(ay. 7-12) ke bentuk kekinian (present) di ayat 13-25 menunjukkan bahwa Paulus
sedang memaparkan pengalamannya sebagai orang Kristen.
(2) Orang yang belum
bertobat tidak mencari Allah (3:11) dan tidak tunduk pada hukum Allah (8:7),
sedangkan “aku” mencintai hukum Allah (ay. 22), berusaha untuk menaatinya (ay.
15-20) dan melayaninya (ay. 25).
(3) Pikiran orang yang
belum bertobat biasanya digambarkan secara negatif oleh Paulus (1:28; Ef 4:17;
Kol 2:18; 1Tim 6:5; 2Tim 3:8; Tit 2:15), sedangkan pikiran “aku” dalam konteks
ini sifatnya positif (ay. 22, 25).
(4) Hanya orang percaya
yang memiliki ‘manusia batiniah’ (e;sw a;nqrwpoj, ay. 22). Paulus juga menggunakan istilah ini di 2Kor
4:16 dan Ef 3:16 untuk orang percaya.
(5) Konklusi bagian ini
(ay. 25b) – setelah penyebutan pelepasan oleh Tuhan Yesus (ay. 25a) –
tetap menyebut perbedaan antara akal budi (melayani hukum Allah) dan tubuh
insani (melayani hukum dosa).
Masing-masing argumentasi di atas sama-sama kuat, namun alternatif pertama
tampaknya lebih bisa diterima. Berikut ini adalah kemungkinan jawaban bagi
sanggahan para sarjana yang menganggap “aku” sebagai orang percaya:
(1)
Bentuk
present mungkin dipakai Paulus untuk menggambarkan suatu situasi yang benar
secara umum atau Paulus sedang mewakili pengalaman bangsa Yahudi lain yang
hidup dalam Taurat.
(2)
Mencintai
hukum Allah dalam pikiran Paulus tidak selalu merujuk pada sifat orang percaya. Orang Yahudi yang tidak
percaya pun juga disebut “giat bagi Allah” (10:2). Solusi ini sekaligus
menjawab keberatan (3) di atas.
(3)
Penggunaan
istilah “manusia batiniah” harus dipahami dalam konteks antropologis, bukan
soteriologis. Dalam 2Kor 4:16 “manusia batiniah” dikontraskan dengan “manusia
lahiriah” dan keduanya dimiliki oleh orang percaya. Ef 3:16 “Aku berdoa supaya
Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya
di dalam batinmu” tampaknya juga merujuk pada satu elemen tertentu dalam
diri manusia (sebagai kontras dengan elemen lain yang sifatnya material).
(4)
Ayat 25b
merupakan bantahan paling serius terhadap identifikasi “aku” sebagai orang yang
belum bertobat, karena orang yang sudah dibebaskan oleh Yesus Kristus (ay. 25a)
ternyata masih menghadapi pengalaman kegagalan yang sama (ay. 25b). Beberapa
sarjana menganggap ayat 25b sebagai tambahan saja (Kasemann) atau meletakkan
ayat 25b setelah ayat 23 (Dodd). Solusi terhadap hal ini (meskipun tidak
konklusif) adalah dengan melihat ayat 25a sebagai antisipasi (belum terjadi)
dari apa yang akan dialami oleh orang yang dibebaskan Yesus Kristus. Jadi, ayat
25a bisa dianggap sebagai break yang akan dijelaskan panjang lebar di
pasal 8. Ayat 25b sendiri merupakan konklusi dari seluruh pembahasan di ayat
13-24. Posisi sebagai konklusi ini harus dibedakan dari posisi sebagai
konsekuensi/situasi akhir.
Struktur ayat 13-25 dapat dijelaskan sebagai berikut:
Taurat yang baik tidak menjadi kematian (ay. 13a)
Alasan: dosa yang menghasilkan kematian melalui Taurat (ay. 13b-14)
Tujuan: menyatakan dosa yang sesungguhnya dan menjadikan dosa lebih berdosa
lagi (ay. 13b)
Cara: melalui kedagingan manusia yang terjual di bawah kuasa dosa (ay. 14)
Akibat dari kedagingan yang terjual di bawah dosa (ay. 15-20)
Konklusi: (ay. 21-23)
Ungkapan keputusasaan (ay. 24)
Break: jalan keluar à Tuhan Yesus (ay.
25a)
Konklusi: akali budi melayani hukum Allah, tetapi kedagingan melayani dosa
(ay. 25b)
Ayat 13a. Pertanyaan di ayat ini merupakan antisipasi terhadap kemungkinan
kesalahpahaman tentang pernyataan Paulus di ayat 7-12. Kalau memang Taurat itu
baik (ay. 7, 12) - tetapi justru menghasilkan kematian – apakah itu berarti
bahwa Taurat yang baik tersebut menjadi kematian bagi manusia? Jawaban Paulus
adalah tegas: TIDAK! Ia selanjutnya menjelaskan jawaban ini di ayat 13b-25.
Pertanyaan ini sebenarnya mirip dengan isu di ayat 7-12, namun perbedaannya
terletak pada dua hal:
(1) Ayat 7-12 lebih
terfokus pada aspek eksternal antara dosa dan Taurat, sedangkan ayat 13-25 pada
aspek internal antara dosa dan kedagingan manusia.
(2) Ayat 13-25 relatif
lebih detail daripada penjelasan di ayat 7-12.
Ayat 13b-14. Struktur kalimat Yunani di ayat 13b agak rancu, karena
tidak memiliki kata kerja pada induk kalimat. Secara literal (tanpa penambahan
kata kerja pada induk kalimat) ayat 13b diterjemahkan “tetapi dosa, supaya
terlihat sebagai dosa, melalui yang baik mengerjakan (participle katergazome,nh) kematian dalam aku,
supaya dosa itu menjadi semakin berdosa
melalui perintah itu”. Mayoritas penerjemah atau penafsir biasanya
mengasumsikan adanya kata kerja finite stative sebelum participle katergazome,nh atau menganggap katergazome,nh sebagai kata kerja
utama. Terlepas dari alternatif tersebut, arti kalimat ini sebenarnya sudah cukup
jelas: dosa menghasilkan kematian melalui sesuatu yang baik (Taurat). Dua anak
kalimat i[na (“supaya”) + kata kerja subjunctive
menunjukkan tujuan tindakan di induk kalimat.
1.
Supaya
dosa dinyatakan sebagai dosa.
Melalui Taurat seseorang memahami kesalahan yang ia lakukan adalah
pelanggaran terhadap hukum Allah, karena Taurat berasal dari Allah. Suatu
tindakan bukan hanya salah secara moral, tetapi secara teologis.
2.
Supaya
dosa menjadi semakin berdosa.
Taurat bukan hanya menyatakan bahwa suatu tindakan dosa, tetapi Taurat juga
menjadikan dosa menjadi semakin berdosa. Frase kaqV u`perbolh.n a`martwlo.j oleh mayoritas EV’s
diterjemahkan “berdosa secara luar biasa” (ASV, NKJV) atau “berdosa melewati
ukuran” (RSV). Frase ini berarti bahwa melalui Taurat dosa telah menjadi
tindakan pemberontakan yang disengaja
untuk melawan Allah (band. 4:15; 5:13-14; 5:20).
Ayat 14 dimulai dengan kata sambung ga.r (“sebab”) yang menerangkan ayat 13b: bagaimana sesuatu
yang baik bisa digunakan untuk mendatangkan kematian? Paulus kembali menegaskan
bahwa Taurat adalah baik. Kali ini ia memakai istilah “rohani” (pneumatiko,j). pneumatiko,j berfungsi untuk
menunjukkan asal/sumber Taurat, yaitu dari Allah sendiri (band. 1Kor 10:3-4 dan
tulisan para rabi yang menyatakan kitab-kitab kanonik diucapkan oleh Roh
Kudus). Selain itu, pneumatiko,j membuat kontras dengan “aku” (evgw.) di ayat 14b. Deskripsi tentang orang yang belum
bertobat:
1.
Bersifat
kedagingan (sa,rkino,j).
Deskripsi ini sebenarnya tidak selalu merujuk pada orang yang belum
bertobat. Paulus pernah mengaplikasikan hal ini untuk orang percaya (1Kor 3:1).
Bagaimanapun, sifat ini pasti juga dimiliki oleh orang yang tidak percaya.
Berdasarkan kontras antara kata pneumatiko,j dan sa,rkino,j di 1Kor 3:1-3, sa,rkino,j di sini tampaknya merujuk pada manusia yang dikuasai
oleh prinsip-prinsip duniawi (kefanaan).
2.
Terjual
di bawah dosa (peprame,noj
u`po. th.n a`marti,an).
Deskripsi ini merupakan penjelasan lanjut tentang poin sebelumnya. Orang
yang belum bertobat berada dalam situasi terjual (participle peprame,noj) di bawah dosa. Kata dasar pipra,skw dipakai 24 kali di
LXX, 11 di antaranya merujuk pada penjualan budak (band. Mat 18:25). Tense
perfect yang dipakai dalam peprame,noj juga mungkin menunjukkan keberdosaan di dalam Adam yang masih memiliki
akibat sampai sekarang. Istilah ini jelas mengindikasikan hal yang sama dengan
metafora perhambaan di pasal 6. Yang diindikasikan dalam frase ini adalah
otoritas dosa atas seseorang. Orang yang dikuasai dosa tidak memiliki keinginan
lain kecuali menuruti kehendak dosa.
Ayat 15-20. Bagian ini merupakan penjelasan subjektif yang
menerangkan akibat dari sifat kedagingan dan situasi terjual di bawah dosa (ay.
14). Paulus memulai dengan pernyataan “aku tidak tahu apa yang aku lakukan”.
Kata “tidak tahu” (ouv ginw,skw) lebih tepat dipahami sebagai “tidak menyetujui” (Cranfield, Moo, BAGD,
band. KJV), meskipun arti umum ginw,skw memang “mengetahui”. Arti ini
juga didukung oleh anak kalimat selanjutnya. Paulus melakukan apa yang justru
ia benci, padahal keinginannya melakukan yang baik. Ada pertentangan antara
“keinginan” (sifatnya positif) dan “ketidakmampuan” (sifatnya negatif). Situasi
ini membuktikan dua hal:
1.
Bahwa
Taurat adalah baik.
Artinya, eksistensi konflik antara yang baik dan yang jahat dalam diri
manusia membuktikan bahwa Taurat adalah baik (diingini oleh elemen yang baik
dalam diri manusia).
2.
Bahwa
dosa begitu menguasai manusia.
Inti ayat 17-20 terletak pada eksistensi dosa yang menjadi penyebab
ketidakmampuan manusia melakukan apa yang baik (ay. 17, 20). Pernyataan ini
mirip dengan ajaran para rabi yang menyebut yeser (keinginan) yang jahat
sebagai penyebab dosa. Para rabi mengajarkan bahwa yeser tersebut harus
dilawan dengan Taurat atau yeser yang baik. Perbedaan esensial dengan
teologi Paulus terletak pada solusi untuk melawan yeser yang baik:
Paulus mengajarkan bahwa solusi hanya ada dalam Tuhan Yesus (ay. 25a).
Eksistensi dosa menyebabkan tidak ada yang baik dalam diri (“evn th/| sarki,”) Paulus. Sarx di sini sebaiknya dipahami
sebagai elemen dalam diri manusia yang sifatnya material (sebagai kontras
dengan keinginan/pikiran). Ini tidak berarti bahwa Paulus mengadopsi dualisme
Yunani yang menganggap tubuh secara fisik sebagai kejahatan. Ini juga tidak
berarti bahwa orang yang belum bertobat tidak memiliki kebaikan sama sekali
(band. 2:14-15). Gambar Allah dalam diri mereka tidak hilang (Kej 9:6; Yak
3:9). Yesus pun mengakui bahwa bangsa-bangsa lain memiliki kebaikan (Mat 5:46f;
7:11). Terjemahan LAI:TB di ayat 18b “Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang
baik”
bisa menimbulkan kesan kontradiktif dengan ayat 15-16, karena terjemahan
tersebut seakan-akan menyatakan bahwa kehendak yang dimiliki Paulus bukanlah
kehendak untuk melakukan apa yang baik. Ayat 18b secara literal seharusnya
diterjemahkan “sebab keinginan [itu] ada padaku, tetapi kelakuan [itu] tidak
ada”. Eksistensi dosa menyebabkan Paulus tidak mampu melakukan apa yang ia tahu
seharusnya ia lakukan.
Ayat 21-23. Kata sambung a;ra (“demikianlah”) di ayat 21 mengindikasikan bahwa bagian ini merupakan
konklusi dari ayat 14-20. no,moj di ayat 21 – mengikuti
mayoritas EV’s – sebaiknya diterjemahkan secara umum, yaitu “prinsip” (band.
2;12). Prinsip tersebut adalah: keinginan berbuat baik dalam diri manusia tidak
bisa terealisasi karena eksistensi dosa yang menguasai bagian lain dari diri
manusia. Penggunaan istilah ini menyiratkan situasi permanen yang sulit
diubah, yaitu ketidakberdayaan manusia melakukan apa yang
dikehendaki/dipikirkan karena dosa (band. “hukum dosa” di ayat 23). Prinsip ini
akan terus berlaku dan membuat manusia putus asa (ay. 24). Ada pertentangan
antara hukum akal budi (yang berorientasi pada hukum Taurat) dan hukum lain
(yang berorientasi pada dosa). Kekuatan “hukum lain” ini digambarkan dengan
ungkapan militer “berjuang” (avntistrateu,omai) yang merupakan hapax legomena.
Ayat 24. Situasi di ayat 14-23 membawa orang yang belum bertobat pada puncak
keputusasaan. Ungkapan “celaka” (talai,pwroj) dalam LXX dan PB biasanya dipakai untuk kesengsaraan
yang berhubungan dengan penghakiman Allah (Yes 47:11; Yer 6:7; 15:8; 20:8;
51:56; Amos 5:9; Mik 2:4; Yoel 1:15; Zef 1:15; Yak 5:1; Wah 3:17). Pertanyaan
“siapa” (bukan “apa”) di sini penting sebagai kontras terhadap konsep para rabi
yang menganggap Taurat dan yeser yang baik sebagai solusi. Kekuatan dosa
yang beroperasi dalam tubuh manusia – yang hanya membawa pada kematian (band.
“tubuh kematian”) - hanya bisa dibebaskan oleh Tuhan Yesus (ay. 25a).
Ayat 25a. Ungkapan “syukur kepada Allah oleh
Yesus Kristus Tuhan kita” menjelaskan solusi yang telah disediakan.
Solusi tersebut bersumber dari Allah, tetapi dikerjakan oleh Tuhan Yesus.
Ayat 25b. Bagian ini merupakan konklusi bagi semua pembahasan di ayat 13-25a.
Pertentangan konstan antara akal budi (dan keinginan) melawan daging yang
dikuasai dosa akan terus menjadi fenomena orang-orang yang belum bertobat. Bagi
orang percaya sendiri, situasi ini tidak perlu menjadi momok, karena Paulus
sendiri sudah mengantisipasi kelepasan dari situasi ini melalui Yesus Kristus.