BERTOLONG-TOLONGANLAH MENANGGUNG BEBANMU
25/02/2010 by Pdt Ramlan Hutahaean
(Galatia 6:2)
“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu…” Kalimat ini pertama sekali dialamatkan Rasul Paulus kepada jemaat Kristen di Galatia, setelah terlebih dahulu mencela tindakan mereka yang terkesan berubah-ubah. Paulus kesal mendengar berita tentang keadaan jemaat yang begitu cepat berubah mundur. Mereka berbalik kepada injil yang lain. Ada pihak tertentu yang menjadikan orang-orang Galatia kebingungan. Paulus sangat marah kepada mereka yang mengganggu “kenyamanan” jemaat Galatia. Ada masalah yang timbul tak terduga. Adanya pengajar lain yang mengubah suasana, merupakan dasar kuat bagi Paulus menggunakan kalimat “bertolong-tolonganlah.”
“Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik daripada Dia…” (Gal.1:6). Perkataan ini merupakan ungkapan marah, kesal dan tidak habis pikir, betapa cepatnya perubahan itu terjadi. Paulus curiga pasti ada yang mengacaukan keadaan. Kepada mereka yang mengacaukan itu, Paulus berkata: “terkutuklah dia” (Gal.1:8). Pertanyaan kita atas keadaan yang cepat berubah itu adalah “dorma” (bahasa Batak) apa yang disuguhkan kepada jemaat Galatia, sehingga mereka terkesan sudah meninggalkan injil yang diberitakan Paulus, dengan beralih ke injil yang lain itu? Saya sebut “dorma” karena bagi Paulus, ajaran yang disampaikan sangat jelas, akan tetapi ternyata masih sanggup dirobah oleh “ sesuatu yang lain”. “Sesuatu” itulah yang saya maksud “dorma”. Terhadap pertanyaan ini, kita ajukan sedikitnya dua asumsi.
Pertama, dari kalangan Yudaisme, yang menekankan keharusan melaksanakan Hukum Taurat, seperti sunat. Asumsi ini didasarkan kepada pernyataan marah Paulus, yang berkata: “Hai orang-orang Galatia yang bodoh! (Gal.3:1) dan “sebab sekiranya ada kebenaran oleh Hukum Taurat maka sia-sialah kematian Kristus” (Gal.2:21). Paulus dengan tegas membantah bahwa kebenaran bukan diperoleh melalui Hukum Taurat, melainkan melalui iman. Hukum Taurat hanya berfungsi sebagai penuntun untuk sampai kepada Kristus. Dengan kedatangan Kristus maka pengawasan penuntun tidak begitu penting lagi (Gal.3:23-25).
Kedua, dari kalangan Gnostisisme, yang menekankan pokok-pokok ajaran Hellenisme. Assumsi ini didasarkan kepada ucapan Paulus dalam dalam Galatia 4:10, “Kamu dengan teliti memelihara hari-hari tertentu, bulan-bulan, masa-masa yang tetap dan tahun-tahun.” Pihak Gnostik dicurigai Paulus dengan giat berusaha mempengaruhi jemaat di Galatia.
Terhadap keadaan yang berubah itulah Paulus berkeinginan untuk hadir di Galatia secepatnya, agar dapat dengan lebih jelas mengetahui alasan perubahan itu. Hanya saja bila kesempatan itu ada, maka situasi di antara Paulus dengan jemaat Galatia, tidak seperti dulu lagi. Paulus akan memarahi mereka (Gal.4:20).
Hubungan yang akrab antara Paulus dengan jemaat di Galatia menjadi terganggu karena masuknya “ajaran” baru ke dalam persekutuan itu. Sedikitnya, yang paling terganggu adalah Paulus, karena merasa jerih-payahnya memberitakan Injil sia-sia. Informasi tentang kegelisahan di dalam jemaat Galatia akibat masuknya “ajaran” baru ini kurang saya peroleh. Apakah mereka telah terbagi atas kelompok-kelompok atau apakah mereka bulat-bulat telah meninggalkan ajaran Paulus. Akan tetapi saya yakin, dari antara warga jemaat Galatia pasti ada yang tetap teguh. Mereka inilah yang memberitahu Paulus keadaan di Galatia. Laporan yang diterima Paulus menjadi dasar dari kerisauannya terhadap keadaan jemaat di Galatia.
Hal yang perlu kita perhatikan dari yang dipesankan Paulus kepada jemaat Galatia, adalah tentang kebebasan orang kristen dalam melaksanakan sesuatu sesudah menerima Injil Kristus. Ada tiga arah yang dikembangkan Paulus dalam menjelaskan kebebasan Kristen, yaitu:
a) Pemanggilan Allah kepada Abraham, yang mematuhi Perintah Allah untuk meninggalkan negeri leluhurnya. Kepatuhannya dinyatakan sebagai kebenaran. Abraham di dalam kebebasannya memutuskan mematuhi perintah Allah, kendati mengetahui ada banyak hal yang terjadi di luar kemampuannya.
b) Peran Hukum Taurat yang berubah sesudah kedatangan Kristus. Menurut Paulus, sebelum kedatangan Kristus, berfungsi sebagai pengawal atau penuntun, tetapi sesudah Kristus tidak perlu lagi, karena telah menerima pengangkatan langsung melalui Kristus.
c) Melalui tafsiran allegoris dari kisah dua isteri Abraham dan anak mereka bahwa Perjanjian Lama sendiri adalah saksi bagi kebebasan yang digunakan Kristus untuk melepaskan manusia. Di situlah sebenarnya setiap orang Kristen tidak boleh menyalahgunakan kebebasannya itu.
Untuk mampu kembali dari keadaan yang tidak baik akibat kesulitan itu, maka Paulus memberi arah untuk memampukan jemaat Galatia menemukan identitasnya. Arah yang ditunjuk itu lebih bersifat etika. Di dalam arah yang ditunjukkan Paulus inilah terletak tema kita. Paulus mengingatkan bahwa kemerdekaan yang diberikan, bukanlah untuk digunakan sekehendak diri, melainkan untuk pelayanan kasih untuk orang lain. Dengan melaksanakan pelayanan kasih, maka semua tuntutan Hukum Taurat terpenuhi. Untuk lebih memantapkan pemahaman jemaat tentang pelayanan kasih itu, maka Paulus memberi gambaran tentang perbedaan antara Perbuatan Roh dan Perbuatan Daging. Daftar sifat-sifat buruk sebagai hasil dari perbuatan daging diperhadapkan dengan daftar sifat-sifat baik sebagai hasil dari perbuatan roh. Orang Kristen seharusnya hidup di dalam Roh, maka perbuatannya pun harus menunjukkan buah-buah roh. Perbuatan-perbuatan seperti itulah yang sebaiknya diperhatikan dan diteladani orang Kristen.
Agar arah yang ditunjukkan itu dapat langsung operasional di dalam membina pertumbuhan persekutuan, maka Paulus memberi serangkaian himbauan khusus. Sedikitnya, ada dua hal dari himbauan khusus ini untuk kita gumuli dan implementasikan, yaitu:
a) Orang yang terlebih dahulu menyadari adanya kekeliruan atau pelanggaran yang terjadi, terutama disebabkan oleh ketidaktahuan, berkewajiban membimbing ke arah yang benar dengan tetap menjaga diri untuk tidak ikut terpeleset melakukan hal yang salah itu. “Kalaupun seorang kedapatan melakukan kesalahan, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut sambil menjaga diri sendiri, supaya kamu jangan kena pencobaan” (Gal.6:1). Dengan kalimat ini Paulus menghimbau, mereka yang sudah hidup di dalam roh supaya menempatkan diri dalam posisi yang tidak lebih baik dari yang melakukan pelanggaran itu. Himbauan seperti itu lebih bersifat etis, sehingga kesalahan atau pelanggaran yang terlanjur terjadi tidak meluas, dan orangnya tidak perlu dikeluarkan dari persekutuan. Tidak perlu meninggikan diri di dalam kesalahan orang lain.
b) Bertolong-tolongan menanggung bebanmu. Kalimat ini lebih berfokus kepada upaya bersama menanggulangi masalah yang telah terjadi. Beban yang dimaksudkan oleh Paulus lebih tertuju kepada pelanggaran yang bermuatan dosa, bukan kepada pengalaman-pengalaman pahit di dalam kehidupan, seperti menderita sakit, kemiskinan dan sejenisnya. Dengan demikian, hemat saya bahwa yang menjadi masalah adalah implementasi dari iman dalam menyikapi ajaran yang berbeda dengan yang diimani.
Saudara yang ternyata kedapatan melakukan dosa, jangan diperlakukan sebagai orang yang harus dijauhi, melainkan dibantu supaya tidak berdosa lagi. Adalah kewajiban orang yang tidak berdosa untuk menolongnya. Solider dengan orang yang berdosa, bukan berarti membenarkan kesalahan yang dilakukan, melainkan membimbing yang bersalah itu ke arah yang benar.
Dunia yang kita hidupi sekarang diisi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di semua lini kehidupan. Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang begitu cepatnya turut serta menyuburkan perubahan itu. Pagar-pagar kehidupan yang sejak awal dibentuk untuk menjamin kelangsungan hidup manusia pun turut terbongkar. Dunia dirasakan makin sempit. Manusia yang berada di dalamnya pun makin asing satu sama lain. Siapa menguasai teknologi akan menguasai interaksi antar manusia. Keinginan manusia memenuhi interaksi itu; keinginan yang satu berhadapan dengan keinginan yang lain menjadi batu sandungan dalam berinteraksi.
Kebebasan individu dan hak azasi menjadi senjata yang ampuh menyuburkan pemenuhan keinginan masing-masing yang saling bertentangan itu. Akibatnya, dunia makin tidak nyaman untuk didiami. Saling memangsa dengan senjata Hak dan Kebebasan menjadi sikap yang umum pada zaman ini. Dosa dinyatakan sebagai sesuatu yang boleh saja dilakukan asal jangan sampai mengganggu ketertiban umum. Namun kepentingan umumpun bukannya terpelihara. Solidaritas tidak lebih hanya sebuah semboyan. Kecenderungan umat manusia, lebih terfokus kepada pemenuhan kebutuhan tanpa merasa perlu mau memperdulikan orang lain. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin; yang kuat memperlakukan yang lemah sesuai keinginan. Jurang pemisah di antara manusia terbangun menggantikan pagar-pagar penopang kehidupan. Keadaan seperti itu juga memasuki persekutuan di dalam gereja. Ada sebagian pihak yang mengatakan diri lebih kudus, lebih benar dan lebih baik dari saudaranya yang lain. Dengan demikian ada dua hal yang menonjol, yaitu kesombongan jasmani dan kesombongan rohani. Kepada kedua hal inilah yang sebaiknya kita beri perhatian.
Beberapa perilaku umat manusia yang menjadi pertanda suburnya kesombongan jasmani dan kesombongan rohani, antara lain:
- Suburnya pengelompokan berdasarkan kepentingan. Orang lain di luar kelompoknya dinyatakan sebagai musuh, yang bila perlu dilenyapkan.
- Suburnya sikap yang menyebut diri lebih baik, lebih kudus dari orang lain.
- Memudarnya keperdulian terhadap upaya menolong orang tertindas, orang miskin dan orang yang lemah, malah cenderung dijadikan sebagai objek yang harus ditolong. Tampaknya mengarah kepada kesombongan pemberi.
- Terjadinya pengucilan terhadap orang-orang bersalah, bahkan tidak sedikit yang main hakim sendiri; sepertinya tidak ada pemahaman bahwa dia pun dapat berbuat salah.
- Kalaupun ada pihak-pihak yang menyatakan diri membantu yang lemah, miskin, dan yang bodoh, akan tetapi bantuannya itu bukan tanpa pamrih.
- Yang merasa diri adalah orang lemah dan miskin, juga tak luput dari kesombongan itu. Mereka menganggap bantuan yang diberikan adalah haknya, tanpa pernah mengucapkan terima-kasih.
Apa yang sebaiknya kita lakukan? Kalau Paulus merasa gusar, kesal dan marah terhadap perubahan mundur dari jemaat di Galatia, dia memberi arah bahkan himbauan untuk dilakukan, dalam upayanya mengembalikan persekutuan Kristen kepada keadaan yang seharusnya. Kesalahan atau dosa yang telah dilakukan tetap dinyatakan sebagai kesalahan dan dosa. Akan tetapi Paulus meminta agar jangan berhenti sampai di situ saja. “Marsiurupan ma hamu”, itulah pesannya.
Menyadari posisi masing-masing di dalam konteks persekutuan, hemat saya itulah yang pertama-tama kita lakukan. Posisi tersebut baiknya dicari dalam konteks Pemilihan dan Pengutusan Tuhan. Setiap orang sebaiknya menempatkan diri dalam persekutuan di mana dia berada sebagai orang yang dipilih dan diutus Tuhan mewujudkan tugas imannya. Dengan demikian setiap orang menyadari posisinya sebagai pemberi, bukan penerima. Masing-masing dipilih dan diutus Tuhan dengan bekal yang khas. Bekal yang masing-masing terima memang berbeda, tetapi bukan tidak berarti. Dari bekal yang khas itulah, kita memberi partisipasi memperbaiki mutu persekutuan ke arah yang Tuhan kehendaki. Bekal yang khas masing-masing kita terima, bukan keunggulan dari orang lain, melainkan modal utama ikut serta membangun persekutuan. Dengan demikian, tugas kita yang kedua adalah mengenal bekal khas yang dianugerahkan kepada kita. Sekali lagi bukan untuk disombongkan melainkan untuk disumbangkan.
Membina kebersamaan melalui kerelaan masing-masing anggota persekutuan memberi yang dimiliki, itulah keberadaan kita. Dengan demikian, tembok-tembok pemisah, jurang perbedaan, sumber-sumber perselisihan, baik yang tumbuh di dalam maupun yang datang dari luar, persekutuan, akan mampu menjembatani perilaku melakukan tindakan yang pada gilirannya berbuahkan pertumbuhan persekutuan. Menyatakan diri berarti bagi persekutuan akan lebih bermakna, daripada mengharapkan sesuatu dari persekutuan.
Beberapa tantangan yang mungkin kita hadapi saat tekad membina kebersamaan telah mulai bertumbuh, antara lain:
a. Keinginan diri untuk memperoleh tempat yang layak di tengah persekutuan. Keinginan ini pada dasarnya wajar, akan tetapi jika dijadikan prasayarat untuk ambil bagian dalam persekutuan akan menjadi penghalang dalam membina kebersamaan. Egoisme terselubung, itulah masalahnya.
b. Makin mudahnya kita tersinggung, jika kita menerima pendapat yang berbeda dengan yang kita inginkan. Akibatnya orang lain yang ada di dalam persekutuan menjadi enggan berpartisipasi.
c. Makin sulitnya kita memutuskan sesuatu hal, karena makin banyaknya keinginan dan kebutuhan kita searah dengan makin tingginya pengetahuan kita. Keinginan kita sering menutup pintu hati kita mendahulukan kebutuhan yang lebih luas.
Dari mana kita mulai? Terhadap pertanyaan ini, kita mungkin akan melihat orang lain, yang menurut hemat kita memiliki lebih banyak bekal yang khusus. Akibat pemikiran ini, kita menjadi pihak yang menerima bukan pemberi. Jemaat yang kita layani, kita sebut “kurang mampu” dan jemaat yang dilayani saudara kita, kita sebut “berkemampuan”, atau kita sebagai pribadi menyatakan tidak bisa berbuat apa-apa walau kita sadar, ada yang harus kita dilakukan. Oleh siapa? Oleh orang lain, tetapi bukan kita. Pola pikir yang seperti itulah yang menurut hemat saya, kita hindari. Kita semua, tanpa kecuali, memiliki modal dasar dalam upaya bertolong-tolongan. Oleh sebab itu, pertanyaan: dari mana kita mulai, baiknya kita robah menjadi: apa yang dapat kuberikan? Kecil atau besar yang dapat kita berikan, jangan menjadi perdebatan, yang pasti kita masing-masing pasti ada yang dapat kita berikan. Di sinilah peran kepemimpinan kita dibutuhkan. Dengan demikian, jiwa dari Aturan dan Peraturan HKBP (2002) dapat kita laksanakan. Semua untuk semua. Satu untuk semua. Semua untuk satu. Menjadikan masing-masing anggota berarti bagi persekutuan, itulah tugas kita. Dan masing-masing anggota memberi yang dimiliki, itulah pula tekad kita, sehingga apa yang kurang dari yang satu, akan dilengkapi oleh apa yang lebih dari yang lain. Peran pimpinan structural, bukan lagi garis komando, melainkan garis koordinasi.
Prinsip yang sebaiknya kita anut adalah : Memberi bukan menerima. Jika prinsip ini telah terbiasa di dalam diri kita, maka posisi kita sebagai pilihan dari utusan Allah telah berada di dalam posisi yang tepat. Walau pun pada akhirnya kepada kita masing-masing diberi tugas khusus, itu adalah bagian dari pembagian tugas dari tugas-tugas bersama. Pembagian tugas, bukan keunggulan, melainkan bagian dari partisipasi.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pokok pikiran untuk kita renungkan:
– Siapa memiliki, dia akan kehilangan.
– Siapa mengingini, dia akan kehausan.
– Siapa memberi, dia akan memperoleh.
– Siapa menyembunyikan, dia akan kecurian.
– Siapa menganggap diri lebih, dia akan ditinggalkan.
Mari saling menolong agar kita saling melengkapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar