KEDAULATAN ALLAH VS
KEBEBASAN MANUSIA
Tanggung jawab dan pilihan sukarela (voluntary choices) tidak sama dengan kehendak bebas manusia (human free will) . Manusia memang bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat, namun Alkitab tidak mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih yang baik menurut standar Allah sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (Roma 3:23).
Alkitab mengajarkan bahwa
Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi (Efesus 1:11) dan juga
mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab untuk pilihannya sendiri (
Yehezkiel 18:20, Matius 12:37, Yohanes 9:41) . Alkitab adalah otoritas tertinggi
kita dan presuposisi tertinggi dan banyak pernyataannya yang jelas mengenai hal
ini, menembusi semua logika manusia yang terbatas. Hampir selalu ditemukan keberatan
untuk memahami konsep pemeliharaan Allah
berkenaan atas pertimbangan moral dan filosofis di atas penafsiran eksegetikal
. Ini berarti kita harus selalu berusaha secara sadar menegaskan bahwa apa yang
Alkitab nyatakan melampaui seluruh pemahaman kita yang terbatas dan “dorongan
manusiawi” untuk bebas dari keterikatan.
Adalah istilah "compatibilism" atau “kompatibilisme” [1] yang dipakai untuk menggambarkan persetujuan atas kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia . Compatibilism adalah bentuk determinisme dan perlu dicatat bahwa posisi ini tidak kurang deterministik dari determinisme berhaluan keras. Ini hanya berarti bahwa penentuan dan pemeliharaan Allah adalah "kompatibel" dengan pilihan sukarela manusia. Pilihan kita tidak dipaksa ... yaitu kita tidak memilih terhadap apa yang kita inginkan atau berdasarkan keinginan bebas, namun sesungguhnya kita tidak pernah membuat pilihan yang bertentangan dengan keputusan Allah yang berdaulat . Apa yang Tuhan tetapkan akan selalu terjadi ( Efesus 1:11) .
Dalam terang Kitab Suci (menurut compatibilism) , pilihan manusia itu dilakukan secara sukarela , tetapi keinginan dan keadaan yang membawa pilihan ini terjadi melalui determinisme atau dominasi ilahi . Sebagai contoh, Allah dikatakan menetapkan penyaliban Anak-Nya , namun orang-orang jahat dengan sengaja dan sukarela menyalibkanNya (lihat Kisah Para Rasul 2:23 dan 4:27-28 ) . Tindakan kejahatan tidak lepas dari keputusan Allah , tetapi bersifat sukarela , dan orang-orang ini dengan demikian bertanggung jawab untuk bertindak , menurut teks ini . Atau saat saudara-saudara Yusuf menjual dia ke perbudakan di Mesir , Yusuf kemudian menceritakan bahwa apa yang saudara-saudaranya rancangkan untuk kejahatan , dimaksudkan Tuhan untuk kebaikan (Kejadian 50:20) . Tuhan menentukan dan menetapkan bahwa peristiwa ini akan berlangsung (bahwa Yusuf akan dijual sebagai budak) , namun saudara-saudaranya secara sukarela membuat pilihan jahat, yang berarti dosa diimputasikan kepada saudara-saudara Yusuf untuk mengahsilkan tindakan jahat , dan itu bukan karena Tuhan.
Dalam kedua kasus ini , dapat
dikatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan dosa atau menakdirkan seseorang untuk
berbuat dosa. Tidak ada yang hal yang terjadi di luar kemaha kuasaan dan kemahabaikanNya.
Kita harus menyadari compatibilism
menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas . Mereka yang percaya bahwa
manusia memiliki kehendak bebas, sebetulnya tidak compatibilists karena pada dasarnya
manusia tidak benar-benar bebas (misalnya tidak bisa memilih di mana ia akan
dilahirkan, sebagai orang kaya atau miskin, dll), sehingga dalam hal ini lebih
tepatnya, disebut "tidak konsisten".
Pilihan manusia secara sukarela
dan tidak dipaksa, sehingga manusia harus bertanggung jawab atas pilihannya
sendiri. Kita tidak membuat pilihan yang bertentangan dengan keinginan atau
kodrat kita, atau terpisah dari pemeliharaan Allah .
Selanjutnya , compatibilism
secara langsung bertentangan dengan para penganut Libertarianisme[2] yang mengakui kehendak bebas . Oleh karena
itu pilihan sukarela bukanlah kebebasan untuk memilih sebebas-bebasnya, yaitu ,
pilihan tanpa pengaruh , prasyarat sebelumnya , kecenderungan , atau disposisi
semula. Sukarela berarti, bagaimanapun , kemampuan untuk memilih apa yang kita
inginkan atau keinginan adalah yang paling sesuai dengan disposisi dan
kecenderungan kita .
Ketika kaum compatibilists
menggunakan frase seperti "kebebasan compatibilistic" , mereka ,
lebih sering daripada tidak , menggunakannya berarti pilihan 'sukarela' ,
tetapi tidak mengacu kepada kebebasan dari keputusan Allah atau kedaulatan mutlak
(sebuah anggapan yang hampir mustahil).
Dalam terminologi Alkitab , manusia yang jatuh dalam perbudakan dosa (terkorupsi secara natur) dan itulah sebabnya mengapa para penulis Alkitab menganggapnya tidak bebas ( lihat Roma 6 ) . Yesus sendiri menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa adalah "hamba dosa" dan hanya Anak dapat membebaskannya . Perhatikan bahwa bahkan Yesus berbicara tentang jenis kebebasan di sini. Dia tidak berbicara tentang kebebasan dari Allah tetapi kebebasan dari belenggu dosa , yang merupakan jenis kebebasan mereka miliki yang ada di dalam Kristus. Dalam hal ini Allah adalah Pribadi yang paling bebas karena Dia adalah kudus , terpisah dari dosa ... namun Ia tidak bisa membuat pilihan yang bertentangan dengan esensi -Nya , yaitu Dia tidak bisa tidak menjadi suci . Jadi , kita harus menyimpulkan , menurut Yesus dalam Yohanes 8:31-36 , bahwa manusia duniawi tidak memiliki kehendak bebas, karena berada dalam perbudakan dosa . Setiap teolog yang konsisten yang menggunakan istilah "kebebasan" biasanya mengacu pada fakta bahwa bahwa sementara Tuhan berdaulat menentukan semua yang ditetapkan terjadi, namun "pilihan bebas" manusia ( sukarela ) kompatibel dengan keputusan Allah yang berdaulat . Dengan kata lain kehendak bebas dari paksaan eksternal, tetapi tidak bebas dari keharusan . Secara eksplisit tidak ada ayat Alkitab yang menggunakan frasa "kehendak bebas" , karena Alkitab tidak pernah menegaskan atau menggunakan istilah ini. Jadi, ketika beberapa teolog menggunakan kata "bebas " mereka mungkin menyalahgunakan atau mengimpor bahasa filosofis dari luar Alkitab.
John Calvin mengatakan :
"...we
allow that man has choice and that it is self-determined, so that if he does
anything evil, it should be imputed to him and to his own voluntary choosing.
We do away with coercion and force, because this contradicts the nature of the
will and cannot coexist with it. We deny that choice is free, because through
man's innate wickedness it is of necessity driven to what is evil and cannot
seek anything but evil. And from this it is possible to deduce what a great
difference there is between necessity and coercion. For we do not say that man
is dragged unwillingly into sinning, but that because his will is corrupt he is
held captive under the yoke of sin and therefore of necessity will in an evil
way. For where there is bondage, there is necessity. But it makes a great
difference whether the bondage is voluntary or coerced. We locate the necessity
to sin precisely in corruption of the will, from which follows that it is self-determined.
Sebelum kejatuhan, kehendak bebas Adam
tidak terjerat dalam kejahatan , sehingga bebas dari perbudakan dosa, tetapi
hal itu tak lepas dari keputusan pengetahuan Allah . Pilihannya memberontak
benar-benar terjadi secara sukarela, meskipun Allah telah menetapkan dengan
pasti bahwa hal itu akan terjadi . Manusia belum termeterai dalam kebenaran,
meskipun kecenderungannya ke arah yang baik . Melalui godaan Setan , bahwa
manusia meninggalkan kecenderungan baik dan memilih yang jahat, sehingga jatuh ke dalam dosa asal.
Jadi apakah manusia berdosa yang sudah mengalami kerusakan natur ilahinya itu masih dapat dianggap 'compatible' untuk merespons Allah yang sempurna berikut tawaran kasihNya itu, dengan kehendak bebasnya sendiri ?
Jadi apakah manusia berdosa yang sudah mengalami kerusakan natur ilahinya itu masih dapat dianggap 'compatible' untuk merespons Allah yang sempurna berikut tawaran kasihNya itu, dengan kehendak bebasnya sendiri ?
[1] Kompatibilisme
adalah pandangan bahwa kehendak bebas dan determinisme
merupakat gagasan yang tidak bertentangan, dan meyakini keduanya pada waktu
yang bersamaan bukan merupakan ketidakkonsistenan logika. Para kompatibilis percaya bahwa kebebasan dapat hadir
dalam suatu situasi untuk alasan yang tidak ada
kaitannya dengan metafisika. Misalnya, pengadilan menentukan apakah seseorang
bertindak berdasarkan kehendak bebas mereka tanpa membawa isu metafisika.
Begitu pula konsep kebebasan politik
merupakan konsep non-metafisis. Para
kompatibilis mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak
tanpa halangan dari orang atau institusi lain. (Wikipedia)
[2] Libertarianisme
adalah salah satu pandangan filosofis yang terkait dengan masalah kehendak
bebas dan determinisme.Libertarianisme merupakan pandangan yang
bersifat inkompatibilis, dan
menekankan bahwa kehendak bebas secara logis tidak sesuai dengan konsep alam
semesta yang deterministik, dan karena manusia memiliki kehendak
bebas maka determinisme itu salah. Walaupun kompatibilisme
(yaitu pandangan bahwa determinisme dan kehendak bebas tidak bertentangan
secara logis) merupakan posisi yang paling populer di antara filsuf-filsuf
profesional, libertarianisme metafisis juga didiskusikan (walaupun
bukan berarti didukung) oleh Peter van Inwagen, Robert Kane, Robert Nozick, Carl Ginet, Hugh McCann, Harry Frankfurt, E.J. Lowe, Alfred Mele, Roderick Chisholm, Daniel
Dennett, Timothy O'Connor,
Derk Pereboom, dan Galen Strawson. Istilah
"libertarianisme" dalam arti metafisis atau filosofis pertama kali
digunakan oleh pemikir bebas dari abad
pencerahan.Istilah ini pertama kali tercatat dalam tulisan William Belsham pada tahun
1789. (Wikipedia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar