Jumat, 27 Desember 2013

SOTEREOLOGI



KEDAULATAN ALLAH VS KEBEBASAN MANUSIA

Tanggung jawab dan pilihan sukarela (voluntary choices) tidak sama dengan kehendak bebas manusia (human free will) . Manusia memang bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat, namun Alkitab tidak mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih yang baik menurut standar Allah sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (Roma 3:23).

Alkitab mengajarkan bahwa Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi (Efesus 1:11) dan juga mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab untuk pilihannya sendiri ( Yehezkiel 18:20, Matius 12:37, Yohanes 9:41) . Alkitab adalah otoritas tertinggi kita dan presuposisi tertinggi dan banyak pernyataannya yang jelas mengenai hal ini, menembusi semua logika manusia yang terbatas. Hampir selalu ditemukan keberatan untuk  memahami konsep pemeliharaan Allah berkenaan atas pertimbangan moral dan filosofis di atas penafsiran eksegetikal . Ini berarti kita harus selalu berusaha secara sadar menegaskan bahwa apa yang Alkitab nyatakan melampaui seluruh pemahaman kita yang terbatas dan “dorongan manusiawi” untuk bebas dari keterikatan.

Adalah istilah "compatibilism" atau “kompatibilisme” [1] yang dipakai untuk menggambarkan persetujuan atas kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia . Compatibilism adalah bentuk determinisme dan perlu dicatat bahwa posisi ini tidak kurang deterministik dari determinisme berhaluan keras. Ini hanya berarti bahwa penentuan dan pemeliharaan Allah adalah "kompatibel" dengan pilihan sukarela manusia. Pilihan kita tidak dipaksa ... yaitu kita tidak memilih terhadap apa yang kita inginkan atau berdasarkan keinginan bebas, namun sesungguhnya kita tidak pernah membuat pilihan yang bertentangan dengan keputusan Allah yang berdaulat . Apa yang Tuhan tetapkan akan selalu terjadi ( Efesus 1:11) .
Dalam terang Kitab Suci (menurut compatibilism) , pilihan manusia itu dilakukan secara sukarela , tetapi keinginan dan keadaan yang membawa pilihan ini terjadi melalui determinisme atau dominasi ilahi . Sebagai contoh, Allah dikatakan menetapkan penyaliban Anak-Nya , namun orang-orang jahat dengan sengaja dan sukarela menyalibkanNya (lihat Kisah Para Rasul 2:23 dan 4:27-28 ) . Tindakan kejahatan tidak lepas dari keputusan Allah , tetapi bersifat sukarela , dan orang-orang ini dengan demikian bertanggung jawab untuk bertindak , menurut teks ini . Atau saat saudara-saudara Yusuf menjual dia ke perbudakan di Mesir , Yusuf kemudian menceritakan bahwa apa yang saudara-saudaranya rancangkan untuk kejahatan , dimaksudkan Tuhan untuk kebaikan (Kejadian 50:20) . Tuhan menentukan dan menetapkan bahwa peristiwa ini akan berlangsung (bahwa Yusuf akan dijual sebagai budak) , namun saudara-saudaranya secara sukarela membuat pilihan jahat, yang berarti dosa diimputasikan kepada saudara-saudara Yusuf untuk mengahsilkan tindakan jahat , dan itu bukan karena Tuhan.
Dalam kedua kasus ini , dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan dosa atau menakdirkan seseorang untuk berbuat dosa. Tidak ada yang hal yang terjadi di luar kemaha kuasaan dan kemahabaikanNya.
Kita harus menyadari compatibilism menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas . Mereka yang percaya bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sebetulnya tidak compatibilists karena pada dasarnya manusia tidak benar-benar bebas (misalnya tidak bisa memilih di mana ia akan dilahirkan, sebagai orang kaya atau miskin, dll), sehingga dalam hal ini lebih tepatnya, disebut "tidak konsisten".

Pilihan manusia secara sukarela dan tidak dipaksa, sehingga manusia harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kita tidak membuat pilihan yang bertentangan dengan keinginan atau kodrat kita, atau terpisah dari pemeliharaan Allah .
Selanjutnya , compatibilism secara langsung bertentangan dengan para penganut Libertarianisme[2]  yang mengakui kehendak bebas . Oleh karena itu pilihan sukarela bukanlah kebebasan untuk memilih sebebas-bebasnya, yaitu , pilihan tanpa pengaruh , prasyarat sebelumnya , kecenderungan , atau disposisi semula. Sukarela berarti, bagaimanapun , kemampuan untuk memilih apa yang kita inginkan atau keinginan adalah yang paling sesuai dengan disposisi dan kecenderungan kita .
Ketika kaum compatibilists menggunakan frase seperti "kebebasan compatibilistic" , mereka , lebih sering daripada tidak , menggunakannya berarti pilihan 'sukarela' , tetapi tidak mengacu kepada kebebasan dari keputusan Allah atau kedaulatan mutlak (sebuah anggapan yang hampir mustahil).

Dalam terminologi Alkitab , manusia yang jatuh dalam perbudakan dosa (terkorupsi secara natur) dan itulah sebabnya mengapa para penulis Alkitab menganggapnya tidak bebas ( lihat Roma 6 ) . Yesus sendiri menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa adalah "hamba dosa" dan hanya Anak dapat membebaskannya . Perhatikan bahwa bahkan Yesus berbicara tentang jenis kebebasan di sini. Dia tidak berbicara tentang kebebasan dari Allah tetapi kebebasan dari belenggu dosa , yang merupakan jenis kebebasan mereka miliki yang ada di dalam Kristus. Dalam hal ini Allah adalah Pribadi yang paling bebas karena Dia adalah kudus , terpisah dari dosa ... namun Ia tidak bisa membuat pilihan yang bertentangan dengan esensi -Nya , yaitu Dia tidak bisa tidak menjadi suci . Jadi , kita harus menyimpulkan , menurut Yesus dalam Yohanes 8:31-36 , bahwa manusia duniawi tidak memiliki kehendak bebas, karena berada dalam perbudakan dosa . Setiap teolog yang konsisten yang menggunakan istilah "kebebasan" biasanya mengacu pada fakta bahwa bahwa sementara Tuhan berdaulat menentukan semua yang ditetapkan terjadi, namun "pilihan bebas" manusia ( sukarela ) kompatibel dengan keputusan Allah yang berdaulat . Dengan kata lain kehendak bebas dari paksaan eksternal, tetapi tidak bebas dari keharusan . Secara eksplisit tidak ada ayat Alkitab yang menggunakan frasa "kehendak bebas" , karena Alkitab tidak pernah menegaskan atau menggunakan istilah ini. Jadi, ketika beberapa teolog menggunakan kata "bebas " mereka mungkin menyalahgunakan atau mengimpor bahasa filosofis dari luar Alkitab.

John Calvin mengatakan :
"...we allow that man has choice and that it is self-determined, so that if he does anything evil, it should be imputed to him and to his own voluntary choosing. We do away with coercion and force, because this contradicts the nature of the will and cannot coexist with it. We deny that choice is free, because through man's innate wickedness it is of necessity driven to what is evil and cannot seek anything but evil. And from this it is possible to deduce what a great difference there is between necessity and coercion. For we do not say that man is dragged unwillingly into sinning, but that because his will is corrupt he is held captive under the yoke of sin and therefore of necessity will in an evil way. For where there is bondage, there is necessity. But it makes a great difference whether the bondage is voluntary or coerced. We locate the necessity to sin precisely in corruption of the will, from which follows that it is self-determined.


Sebelum kejatuhan, kehendak bebas Adam tidak terjerat dalam kejahatan , sehingga bebas dari perbudakan dosa, tetapi hal itu tak lepas dari keputusan pengetahuan Allah . Pilihannya memberontak benar-benar terjadi secara sukarela, meskipun Allah telah menetapkan dengan pasti bahwa hal itu akan terjadi . Manusia belum termeterai dalam kebenaran, meskipun kecenderungannya ke arah yang baik . Melalui godaan Setan , bahwa manusia meninggalkan kecenderungan baik dan memilih yang jahat, sehingga jatuh ke dalam dosa asal.

Jadi apakah manusia berdosa yang sudah mengalami kerusakan natur ilahinya itu masih dapat dianggap 'compatible' untuk merespons Allah yang sempurna berikut tawaran kasihNya itu, dengan kehendak bebasnya sendiri ?








[1] Kompatibilisme adalah pandangan bahwa kehendak bebas dan determinisme merupakat gagasan yang tidak bertentangan, dan meyakini keduanya pada waktu yang bersamaan bukan merupakan ketidakkonsistenan logika. Para kompatibilis percaya bahwa kebebasan dapat hadir dalam suatu situasi untuk alasan yang tidak ada kaitannya dengan metafisika. Misalnya, pengadilan menentukan apakah seseorang bertindak berdasarkan kehendak bebas mereka tanpa membawa isu metafisika. Begitu pula konsep kebebasan politik merupakan konsep non-metafisis. Para kompatibilis mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak tanpa halangan dari orang atau institusi lain. (Wikipedia)

[2] Libertarianisme adalah salah satu pandangan filosofis yang terkait dengan masalah kehendak bebas dan determinisme.Libertarianisme merupakan pandangan yang bersifat inkompatibilis, dan menekankan bahwa kehendak bebas secara logis tidak sesuai dengan konsep alam semesta yang deterministik, dan karena manusia memiliki kehendak bebas maka determinisme itu salah. Walaupun kompatibilisme (yaitu pandangan bahwa determinisme dan kehendak bebas tidak bertentangan secara logis) merupakan posisi yang paling populer di antara filsuf-filsuf profesional, libertarianisme metafisis juga didiskusikan (walaupun bukan berarti didukung) oleh Peter van Inwagen, Robert Kane, Robert Nozick, Carl Ginet, Hugh McCann, Harry Frankfurt, E.J. Lowe, Alfred Mele, Roderick Chisholm, Daniel Dennett, Timothy O'Connor, Derk Pereboom, dan Galen Strawson. Istilah "libertarianisme" dalam arti metafisis atau filosofis pertama kali digunakan oleh pemikir bebas dari abad pencerahan.Istilah ini pertama kali tercatat dalam tulisan William Belsham pada tahun 1789. (Wikipedia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar