Senin, 30 Desember 2013

RENUNGAN NATAL



Kelahiran Dari Anak Dara

Penulis_artikel
John Rw Stott
Isi_artikel: 

Bishop David Jenkins meragukan bahkan menyatakan penyangkalannya mengenai realita sejarah mengenai kelahiran dari anak dara. Ia menyebutnya sebagai natur simbolis dan mitologis kisah kelahiran dari anak dara. Dalam suratnya Desember 1984 ia menulis bahwa sekelompok orang tidak dapat mengerti, atau tidak akan mendengarkan, point bahwa banyak dari kisah Alkitab adalah direalitakan, tidak dengan menjadi literatur yang benar, tapi karena menjadi simbol yang diinspirasikan oleh iman yang hidup mengenai aktifitas nyata dari Allah.
Tapi banyak dari kritik bishop tidak selalai dan juga tidak sekeras kepala seperti yang ditunjukkannya. Kita tahu dengan baik bahwa ada jenis literatur yang disebut mitos yang memasukkan kebenaran dalam bentuk sejarah tanpa menyatakan bahwa itu bersifat sejarah. Ini tidak termasuk dalam perdebatan di antara kita. Banyak mitos kafir yang beredar dalam abad pertama, termasuk yang berasal dari Yunani dan Mesir asli mengenai satu dewa juruselamat yang lahir dari anak dara yang memerintah langit dan laut. Tapi kisah-kisah ini membuktikan sendiri bahwa mereka adalah mitos. Orang tidak percaya bahwa kisah itu adalah sejarah. Pertanyaannya adalah apakah para penulis Injil dengan sengaja menulis mitos ketika mereka mengisahkan kelahiran dari anak dara dan apakah mereka bermaksud untuk memberi pengertian semacam itu kepada kita. Jawaban saya: "Jelas tidak!". Profesor Henry Chadwick dalam artikelnya menunjukkan bahwa di dalam Pengakuan Iman Rasuli adalah pernyataan yang tercatat dalam sejarah dan ada yang puitis. Kalimat Ia duduk di sebelah kanan Allah Bapa termasuk dalam pengertian puitis tetapi Ia dilahirkan oleh Anak Dara Maria dan Pada hari yang ketiga Ia bangkit dari antara orang mati termasuk pernyataan yang berdasarkan sejarah.
Benar bahwa hal kelahiran Yesus dari anak dara tidak mendapat penekanan sebanyak yang terjadi dalam hal mengenai kematian dan kebangkitanNya dalam Perjanjian Baru. Tidak ada dalam khotbah-khotbah awal Petrus dalam Kisah Rasul maupun kesimpulan Paulus mengenai Injil dalam I Korintus 15 yang menyinggung mengenai kelahiran Yesus dari anak dara. Meskipun keempat penulis Injil sesungguhnya menuliskan seperti yang dikatakan Markus Injil mengenai Yesus Kristus (Markus 1:1), dan meskipun Matius dan Lukas dalam Injil mereka mencatat mengenai kelahiran dari anak dara, tapi tidak ada tempat dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa catatan itu menjadi bagian integral dengan Kabar Baik. Meskipun demikian jelas diajarkan dalam Injil dan sejak itu menjadi kepercayaan yang diterima dengan suara bulat dari gereja universal. Pengajaran dan tradisi ini tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Selain itu, adalah suatu hal yang serasi bahwa Satu Pribadi yang supranatural (yang adalah Allah dan manusia) harus memasuki, seperti juga meninggalkan dunia ini, dengan cara yang supranatural.
Serangan atas kelahiran dari anak dara bukanlah hal yang baru. Sebaliknya mereka sama tuanya dengan kekristenan itu sendiri. Dalam abad pertama banyak orang Yahudi Ebionit dan sekte tertentu dari Gnostik menyangkal keilahian Yesus dan oleh sebab itu menghilangkan kisah kelahiran dari anak dara. Dalam abad kedua, bidat Marcion, yang menolak sepenuhnya Perjanjian Lama, mempublikasikan satu versi dari hanya satu Injil (Lukas) dengan mengabaikan kedua pasal pertamanya. Kemudian golongan rasionalis dan skeptis dari setiap abad meragukan atau meremehkan kelahiran dari anak dara. Contohnya Renan, humanis dari Perancis dengan bukunya Vie de Je'sus yang menimbulkan sensasi ketika beredar dalam tahun 1863, memulai bab keduanya demikian: "Yesus dilahirkan di Nazaret, sebuah kota kecil di Galilea, yang sebelumnya tidak melahirkan orang yang terkenal.... Ayahnya Yusuf dan ibunya Maria adalah orang-orang dari kalangan bawah." Kritik ini biar bagaimana pun juga berasal dari luar gereja.
Yang baru sekarang ini adalah pandangan mereka ditoleransi di dalam gereja, bahkan di antara pemimpin gereja yang seharusnya dengan khidmat menjaga dan mengajarkan iman Kristen yang bersejarah. Pada awal abad ini penahbisan William Temple ditunda dua tahun sampai ia yakin mengenai kelahiran Yesus dari anak dara dan kebangkitan tubuh, dan dalam 1917 dan 1918 Kepala bishop Randall Davidson menolak untuk menahbiskan Hensley Henson yang sedang dicalonkan untuk menjadi Bishop of Hereford, sampai ia mampu memberikan jaminan yang memuaskan bahwa ia tidak menyangkal doktrin-doktrin dalam Pengakuan Iman Rasuli. Sebab Kepala Bishop John Habgood menahbiskan David Jenkins tanpa menerima jaminan yang sama sehingga banyak dari kita diganggu oleh pandangan yang mendukakan ini.
Mungkin bijaksana jika pada point ini menjelaskan pengertian dari kelahiran dari anak dara. Ada ekspresi yang salah, karena menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa mengenai kelahiran Yesus, sementara kelahiranNya seluruhnya adalah normal dan alamiah. Penghamilannya yang tidak biasa, karena sesungguhnya bersifat supernatural; karena ia diyakinkan dengan pekerjaan dari Roh Kudus, tanpa kerjasama dari seorang bapa manusiawi.
Dalam diskusi kita mengenai kelahiran dari anak dara, ada dua pertanyaan yang perlu ditanyakan. Yang pertama mengenai kesejarahannya (Apakah itu sungguh-sungguh terjadi?) dan yang kedua adalah signifikansinya (Apakah yang terjadi?)
Kesejarahan mengenai kelahiran dari anak dara
Ketika kita menimbang bukti-bukti sejarah untuk kelahiran dari anak dara, ada empat bukti harus dipikirkan. Pertama, kesaksian dari para penulis Injil: Matius dan Lukas keduanya menanggung dualitas kesaksian mengenai keperawanan dari Maria. Benar, mereka menelusuri jejak genealogi Yesus melalui Yusuf dan tidak dirintangi dalam menunjuk kepada Yusuf sebagai bapak dari Yesus. Tapi setelah ia menikah dengan Maria, ia adalah ayah yang sah dari Yesus. Maka tidak ada kesulitan di sini. Faktanya adalah bahwa menurut penulis Injil pertama dan ketiga, ketika Maria mengandung ia bertunangan, bukan menikah dengan Yusuf, dan ketika Yesus dilahirkan ia tetap seorang perawan. Lagipula cukup jelas bahwa Matius dan Lukas mempercayai hal ini. Mereka menulis dalam bentuk prosa bukan puisi, sebuah sejarah dan bukan mitos. Beberapa sarjana memperdebatkan bahwa Matius pada khususnya (bukan Lukas, yang mengklaim pengusutan sejarah telah diperhatikan) tidak cenderung untuk menuliskan sebuah narasi murni sejarah, tapi ia bebas mengembangkan dan membubuhi sumber-sumbernya sehingga akibatnya adalah sebuah midrash, yaitu pencampuran sejarah dengan yang non-sejarah, yang (lebih lanjut dikatakan) merupakan sebuah bentuk yang biasa yang dikenal dalam literatur Yahudi pada jamannya. Namun demikian perkiraan ini jauh dari pembuktian. Bukti kurang dalam tiga area kritis: pertama, bahwa itu merupakan genre literatur yang biasa pada waktu itu (tidak kelihatan menjadi seperti demikian sampai abad kedua); kedua bahwa Matius cenderung untuk menulis Midrash (ia pasti tidak membumbui Perjanjian Lama dengan fiksi, seperti yang dilakukan oleh para penafsir Midrash; dan ketiga bahwa orang-orang pada jamannya itu mengertinya untuk menggunakan bentuk khusus ini (yang tidak dilakukan oleh bapak-bapak gereja pada awal gereja). Selain itu, ketika seseorang membaca injil Matius dengan segar, ia didorong oleh detail konteks sejarah dari kelompok orang, tempat-tempat dan waktu yang di dalamnya ia letakkan dalam kisahnya.
Jika ditekankan bahwa Matius dan Lukas percaya bahwa Maria adalah ibu Yesus adalah seorang dara, lalu timbul pertanyaan: mengapa Markus dan Yohanes tidak mengatakan demikian juga? Dan mengapa sisa dari Perjanjian Baru membisu mengenai kelahiran Yesus dari anak dara? Dalam menjawabnya, kita mulai dengan mengingat bahwa argumen bisu jelas tidak dapat diandalkan. Contohnya, Markus dan Yohanes tidak mengatakan apa-apa mengenai masa kecil Tuhan Yesus, tapi kita tidak mengkonklusikan dari hal ini bahwa Yesus tidak pernah mempunyainya. Kemudian ada bukti tidak langsung bahwa Yohanes tidak tahu mengenai masalah ini dan percaya kelahiran dari anak dara. Saya tidak hanya berpikir mengenai pernyataan agungnya bahwa "Firman telah menjadi daging dan tinggal ... di antara kita." (Yohanes 1:14), tetapi juga mengingat kembali pernyataan bahwa Yesus "datang dari atas", "turun dari surga", "diutus oleh Bapa", "datang ke dalam dunia." Beberapa intervensi supranatural menjadi penting untuk membuat hal-hal ini dapat diterima.
Fakta bahwa Markus dan Yohanes mengabaikan kisah Kristus sebenarnya tidak relevan untuk alasan sederhana bahwa mereka tidak diharuskan untuk menulis hanya tentang kelahiran dan masa kecil Yesus saja. Mereka berdua memilih untuk memulai kisah dari Yohanes Pembaptis. Point signifikansi adalah hanya dua penginjil yang menekankan penjelasan kelahiran Yesus dan menyatakan bahwa Ia dilahirkan dari seorang dara.
Faktor kedua yang perlu dipikirkan adalah keotentikan suasana yang disinggung dalam kisah. Ketika kita membaca pasal-pasal awal dari Matius dan Lukas. Kita dibawa kembali kepada hari-hari akhir dari Perjanjian Lama. Zakaria dan Elisabet, Yusuf, Maria, Simeon dan Hana adalah orang-orang beribadah dari Perjanjian Lama yang memandang dan menantikan kerajaan Allah. Konteksnya kaya dengan kesalehan khas Perjanjian Lama. Bahasa, gaya dan susunan dari cerita-cerita adalah seluruhnya berciri Ibrani. Jauh dari tambahan legenda yang kemudian. Kisah-kisah ini terdengar dan terasa seperti ditulis pada masa sangat awal.
Sebagai tambahan, kisah-kisah ini mengungkapkan kesederhanaan dan kebijaksanaan. Sesungguhnya cerita-cerita kafir pada masa itu mengisahkan mengenai dewa-dewa yang melakukan hubungan seks dengan manusia perempuan. Tetapi pada tempat dari mitos yang sadis dan fantastik itu, para penginjil bungkam. Mereka memperlakukan keintiman yang suci mengenai dikandungnya Yesus dengan cara yang paling halus.
Ketiga, kita harus menanyakan tentang keaslian cerita kelahiran anak dara. Kisah Matius dan Lukas memiliki kesamaan inti. Mereka berdua menunjukkan hubungan kehamilan Maria dengan Roh Kudus, bukan Yusuf dan mereka juga menunjukkan kepada problem dan kekuatiran yang disebabkan oleh keperawanannya. Tetapi perhitungan mereka jelas berdiri sendiri (tidak ada bukti persekongkolan), saling melengkapi (mereka mengisahkan dari perspektif yang berbeda). Lukas menulis pengumuman kepada Maria dan kebingungannya seperti bagaimana dia dapat menjadi seorang ibu sementara belum menikah. Matius, di lain pihak, menulis penemuan Yusuf bahwa Maria hamil dan kebingungannya, keputusan untuk menceraikan Maria karena itu bukan anaknya, dan mimpinya di mana di dalamnya Allah mengatakan kepadanya untuk mengambil Maria sebagai seorang istrinya. Pada puncaknya, fakta harus datang dari Maria dan Yusuf sendiri, baik dalam bentuk tulisan atau bentuk perkataan. Selama Lukas dua setengah tahun bebas di Palestina, yang saya hubungkan, tampak segala kemungkinan bahkan kemungkinan bahwa ia bertemu dengan Dara Maria secara pribadi dan menerima cerita dari bibirnya sendiri. Dalam seluruh keadaan, bukti-bukti dari dalam menunjukkan bahwa dalam Perjanjian Baru kita memiliki dua kisah asli, pada awal, yang terpisah, yang berbicara mengenai kelahiran anak dara, masing-masing berdiri sendiri, satu sama lain saling melengkapi, yang satu dari Yusuf, yang lain dari Maria.
Faktor keempat yang kita akan lihat adalah gosip mengenai kelahiran di luar nikah dari Yesus. "Fakta pertama dan paling tidak bisa dibantah mengenai kelahiran Yesus" tulis JAT Robinson, munculnya dari Wedlock. Satu pilihan yang tidak berbukti bahwa Yesus adalah anak sah dari Yusuf dan Maria. Hanya satu pikiran terbuka bagi kita antara kelahiran anak dara dan kelahiran di luar nikah.
Jelas bahwa gosip kemungkinan kelahiran di luar nikah dari Yesus sudah tersebar selama ia terjun melayani dalam masyarakat dalam usaha untuk menjatuhkanNya. Contohnya: ketika Ia mengemukakan bahwa pasti orang Yahudi yang tidak percaya tidak memiliki Abraham sebagai bapa, tapi si jahat. Mereka membantah, "Kami bukan anak-anak haram!" yang sepertinya sebagai sindirian bahwa itulah Ia (Yohanes 8:41). Pada lain kesempatan, kali ini dalam kotaNya sendiri, ketika orang-orang diserang oleh pengajaranNya, mereka bertanya, "Tidakkah ini anak Maria?" (Markus 6:3). Dalam lingkungan patriakh ini adalah pembicaraan yang menghina, sindiran yang tidak mungkin meleset. Kemudian dalam kesempatan ketiga, orang-orang tidak percaya bertambah, berteriak kepada seorang buta sejak lahir yang disembuhkan oleh Yesus (Yohanes 9:29). Gosip ketidaksahan Yesus bertahan lama setelah kematianNya. Dalam Talmud Yahudi hal ini menjadi jelas. Dalam abad III sarjana Kristen Origen harus menjawab kritik hinaan dari Celsus bahwa Yusuf membawa Maria keluar dari rumahnya karena ia telah berjinah dengan seorang serdadu bernama Panthera. Bagaimana dalam dunia ini dapat timbul gambaran dan fitnahan kecuali telah diketahui bahwa Maria telah mengandung ketika Yusuf menikahinya? Betapa tidak menyenangkannya gossip ini tetapi inilah bukti nyata dari kelahiran anak dara.
Signifikansi dari Kelahiran anak dara
Kita maju sekarang dari bukti kesejarahan kelahiran anak dara kepada pertanyaan mengenai signifikansinya: Apa yang terjadi? Kita telah mencatat bahwa kelahiran Yesus tidak mendapat penekanan dalam Perjanjian Baru yang sama seperti kebangkitanNya, bukan merupakan suatu kejutan kecil, sejak kebangkitanNya dipublikasikan dan mempunyai saksi mata, sementara kelahiran anak dara adalah hal yang bersifat sangat pribadi dan tidak mempunyai saksi. Tapi jurusan yang dipakai para pengritik untuk menyerang menunjukkan bahwa mereka mengenali kepentingannya.
Catatan Lukas mengenai pengumuman itu: Lukas 1:26-36:
Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata, "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepadaNya takhta Daud, bapa leluhurNya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan KerajaanNya tidak akan berkesudahan." Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki- laki pada hari tuanya dan inilah bulan keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. "
Setelah malaikat memberi salam kepada Maria sebagai seorang yang mendapat anugerah khusus dan kehadiran Allah, pemberitahuannya kepada Maria mengenai tujuan Allah ada dalam dua tahap, yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Yang pertama menekankan kesinambungan Anaknya dengan masa lalu, karena Maria akan mengandungNya. Yang kedua menekankan ketidaksinambunganNya, bahkan keunikanNya, karena Roh Kudus akan menaungiNya.
Dalam bagian pertama (ayat 30-34) malaikat mewartakan bahwa Maria akan mengandung dan melahirkan seorang putra, Ia akan menjadi "besar" (dinamakan Yesus dan Putra Yang Maha Tinggi, yang berhubungan dengan pekerjaan penyelamatan MesianikNya) dan bahwa Ia akan memerintah di atas takhta BapaNya, Daud, dan memerintah atas rumah Yakub selama- lamanya. Dengan kata lain, Ia akan mewarisi dari ibuNya: kemanusiaan ("engkau akan .... melahirkan seorang putra") dan posisiNya di takhta Mesianik. Paling sedikit inilah yang diimplikasikan. Dengan yakin rasul Paulus kemudian menekankan hal ini ketika menuliskan bahwa Yesus "dalam naturNya sebagai manusia adalah keturunan Daud" (Roma 1:3). Pada waktu yang bersamaan, Yusuf secara eksplisit dijelaskan sebagai keturunan Daud. Dengan menamai Yesus (Matius 1:21,25), ia menerimaNya sebagai Putranya, dan dengan menerimaNya, membuktikan Ia mempunyai hak-hak legal sebagai anak sah.
Dalam bagian yang kedua (ayat 35) malaikat melanjutkan mengatakan bahwa Roh Kudus akan berada di atas Maria dan kuasa dari Yang Maha Tinggi akan menaunginya (awan dalam Alkitab adalah simbol dari kehadiran Allah). Dan oleh sebab itu anak yang akan dilahirkannya adalah unik, sebagai Yang Suci (berhubungan dengan ketidakberdosaanNya) dan Anak Allah (yang membuktikan dalam pengertian lebih dalam dari pada sebutan sebagai Mesias).
Dalam cara ini diumumkan kepada Maria bahwa kemanusiaan dan kemesiasan anaknya akan keluar daripadanya, ibu yang akan mengandung dan melahirkanNya, sementara ketidakberdosaan dan keilahianNya akan keluar dari Roh Kudus yang akan menaunginya dengan kuat kuasaNya. Kesinambungan akan terlihat pada kelahiran naturalNya melalui Maria, dan ketidaksinambungan dengan kehamilan supranatural melalui Roh Kudus. Ia akan menjadi keturunan Adam melalui kelahiranNya, tetapi diangkat menjadi Adam kedua (kepala dari kemanusiaan yang baru) melalui dikandungNya dari Roh Kudus.
Sebagai akibat dari kelahiran anak dara (yaitu, kebenaran dari Pengakuan Iman Rasuli bahwa Ia dikandung oleh Roh Kudus, dilahirkan dari Anak Dara Maria), Yesus Kristus secara bersamaan adalah anak Maria dan Anak Allah, manusia dan ilahi, Mesias dari keturunan Daud dan Juruselamat yang tidak berdosa bagi orang-orang berdosa. Karena Allah adalah bebas dan maha-kuasa dan kita tidak mempunyai kebebasan untuk membatasiNya, tanpa diragukan lagi Ia dapat melaksanakan tujuan ini melalui beberapa cara lain. Tapi Perjanjian Baru membuktikan bahwa Ia memilih cara melalui kelahiran anak dara, dan tidak sulit untuk mengerti kemasukakalan dan kelayakannya.
Respon Maria terhadap pengumuman dari malaikat menyentuh kekaguman langsung kita. "Aku adalah hamba Tuhan," ia berkata, "Jadilah kepadaku seperti yang kau katakan." Sekali tujuan dan metode Allah dijelaskan kepadanya, ia tidak keberatan. Keseluruhannya takluk kepadaNya. Ia mengekspresikan kerelaan totalnya untuk menjadi anak dara sebagai ibu dari Anak Allah. Jelas itu adalah hak istimewa baginya: "Yang Maha Kuasa telah melakukan hal besar bagiku," ia memuji (Lukas 1:49). Jelas itu menimbulkan kekaguman dan tanggung jawab besar juga. Menyangkut kesediaan untuk mengandung sebelum menikah dan membawa diri sendiri kepada malu dan penderitaan, dipandang sebagai perempuan yang tidak bermoral. Bagi saya kerendahan hati dan semangat Maria dalam penyerahan terhadap kelahiran anak dara kontras dengan sikap pengritik-pengritik yang menyangkal hal itu.
Kita perlu kerendahan hati Maria. Ia menerima tujuan Allah, berkata, "Jadilah padaku seperti yang kau katakan." Tapi kecenderungan dari banyak orang sekarang ini adalah menolaknya karena itu tidak sesuai dengan praanggapan mereka. Mereka yang menolak mujizat secara umum dan kelahiran anak dara khususnya karena mereka percaya alam semesta berada dalam suatu sistim tertentu, tidak tampak untuk melihat keganjilan dari perintah Pencipta, apa yang Ia ijinkan terjadi dalam ciptaanNya sendiri. Bukankah tidak ada lagi mode yang lebih baik untuk meneladani reaksi Maria dalam ketaatannya akan jalan Allah?
Kita juga membutuhkan semangat Maria, Ia sepenuhnya terbuka bagi Allah untuk memenuhi tujuanNya bahwa ia siap untuk mengambil resiko noda dengan menjadi ibu yang tidak menikah, menjadi orang yang disangka penjinah dan menanggung anak yang tidak sah. Ia menyerahkan reputasinya kepada kehendak Allah. Kadang saya heran jika penyebab utama dari begitu banyak teologi liberal adalah sarjana-sarjana yang lebih memperhatikan mengenai reputasi mereka di bandingkan wahyu Allah. Lucu tampaknya untuk menjadi naif dan cukup mudah percaya mengenai mujizat, mereka dicobai untuk mengorbankan wahyu Allah di altar kehormatan mereka sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa mereka selalu berbuat demikian. Tapi saya merasa benar dalam hal ini karena saya sendiri merasakan pencobaan ini. Tetapi jelas pengritik akan menyeringai dan memperolok-olok, biarkan mereka. Apa yang terjadi adalah kita membiarkan Allah menjadi Allah dan melakukan dengan caraNya, bahkan jika bersama Maria kita menghadapi resiko kehilangan nama baik kita.

Jumat, 27 Desember 2013

SOTEREOLOGI



KEDAULATAN ALLAH VS KEBEBASAN MANUSIA

Tanggung jawab dan pilihan sukarela (voluntary choices) tidak sama dengan kehendak bebas manusia (human free will) . Manusia memang bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat, namun Alkitab tidak mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih yang baik menurut standar Allah sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (Roma 3:23).

Alkitab mengajarkan bahwa Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi (Efesus 1:11) dan juga mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab untuk pilihannya sendiri ( Yehezkiel 18:20, Matius 12:37, Yohanes 9:41) . Alkitab adalah otoritas tertinggi kita dan presuposisi tertinggi dan banyak pernyataannya yang jelas mengenai hal ini, menembusi semua logika manusia yang terbatas. Hampir selalu ditemukan keberatan untuk  memahami konsep pemeliharaan Allah berkenaan atas pertimbangan moral dan filosofis di atas penafsiran eksegetikal . Ini berarti kita harus selalu berusaha secara sadar menegaskan bahwa apa yang Alkitab nyatakan melampaui seluruh pemahaman kita yang terbatas dan “dorongan manusiawi” untuk bebas dari keterikatan.

Adalah istilah "compatibilism" atau “kompatibilisme” [1] yang dipakai untuk menggambarkan persetujuan atas kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia . Compatibilism adalah bentuk determinisme dan perlu dicatat bahwa posisi ini tidak kurang deterministik dari determinisme berhaluan keras. Ini hanya berarti bahwa penentuan dan pemeliharaan Allah adalah "kompatibel" dengan pilihan sukarela manusia. Pilihan kita tidak dipaksa ... yaitu kita tidak memilih terhadap apa yang kita inginkan atau berdasarkan keinginan bebas, namun sesungguhnya kita tidak pernah membuat pilihan yang bertentangan dengan keputusan Allah yang berdaulat . Apa yang Tuhan tetapkan akan selalu terjadi ( Efesus 1:11) .
Dalam terang Kitab Suci (menurut compatibilism) , pilihan manusia itu dilakukan secara sukarela , tetapi keinginan dan keadaan yang membawa pilihan ini terjadi melalui determinisme atau dominasi ilahi . Sebagai contoh, Allah dikatakan menetapkan penyaliban Anak-Nya , namun orang-orang jahat dengan sengaja dan sukarela menyalibkanNya (lihat Kisah Para Rasul 2:23 dan 4:27-28 ) . Tindakan kejahatan tidak lepas dari keputusan Allah , tetapi bersifat sukarela , dan orang-orang ini dengan demikian bertanggung jawab untuk bertindak , menurut teks ini . Atau saat saudara-saudara Yusuf menjual dia ke perbudakan di Mesir , Yusuf kemudian menceritakan bahwa apa yang saudara-saudaranya rancangkan untuk kejahatan , dimaksudkan Tuhan untuk kebaikan (Kejadian 50:20) . Tuhan menentukan dan menetapkan bahwa peristiwa ini akan berlangsung (bahwa Yusuf akan dijual sebagai budak) , namun saudara-saudaranya secara sukarela membuat pilihan jahat, yang berarti dosa diimputasikan kepada saudara-saudara Yusuf untuk mengahsilkan tindakan jahat , dan itu bukan karena Tuhan.
Dalam kedua kasus ini , dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan dosa atau menakdirkan seseorang untuk berbuat dosa. Tidak ada yang hal yang terjadi di luar kemaha kuasaan dan kemahabaikanNya.
Kita harus menyadari compatibilism menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas . Mereka yang percaya bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sebetulnya tidak compatibilists karena pada dasarnya manusia tidak benar-benar bebas (misalnya tidak bisa memilih di mana ia akan dilahirkan, sebagai orang kaya atau miskin, dll), sehingga dalam hal ini lebih tepatnya, disebut "tidak konsisten".

Pilihan manusia secara sukarela dan tidak dipaksa, sehingga manusia harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kita tidak membuat pilihan yang bertentangan dengan keinginan atau kodrat kita, atau terpisah dari pemeliharaan Allah .
Selanjutnya , compatibilism secara langsung bertentangan dengan para penganut Libertarianisme[2]  yang mengakui kehendak bebas . Oleh karena itu pilihan sukarela bukanlah kebebasan untuk memilih sebebas-bebasnya, yaitu , pilihan tanpa pengaruh , prasyarat sebelumnya , kecenderungan , atau disposisi semula. Sukarela berarti, bagaimanapun , kemampuan untuk memilih apa yang kita inginkan atau keinginan adalah yang paling sesuai dengan disposisi dan kecenderungan kita .
Ketika kaum compatibilists menggunakan frase seperti "kebebasan compatibilistic" , mereka , lebih sering daripada tidak , menggunakannya berarti pilihan 'sukarela' , tetapi tidak mengacu kepada kebebasan dari keputusan Allah atau kedaulatan mutlak (sebuah anggapan yang hampir mustahil).

Dalam terminologi Alkitab , manusia yang jatuh dalam perbudakan dosa (terkorupsi secara natur) dan itulah sebabnya mengapa para penulis Alkitab menganggapnya tidak bebas ( lihat Roma 6 ) . Yesus sendiri menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa adalah "hamba dosa" dan hanya Anak dapat membebaskannya . Perhatikan bahwa bahkan Yesus berbicara tentang jenis kebebasan di sini. Dia tidak berbicara tentang kebebasan dari Allah tetapi kebebasan dari belenggu dosa , yang merupakan jenis kebebasan mereka miliki yang ada di dalam Kristus. Dalam hal ini Allah adalah Pribadi yang paling bebas karena Dia adalah kudus , terpisah dari dosa ... namun Ia tidak bisa membuat pilihan yang bertentangan dengan esensi -Nya , yaitu Dia tidak bisa tidak menjadi suci . Jadi , kita harus menyimpulkan , menurut Yesus dalam Yohanes 8:31-36 , bahwa manusia duniawi tidak memiliki kehendak bebas, karena berada dalam perbudakan dosa . Setiap teolog yang konsisten yang menggunakan istilah "kebebasan" biasanya mengacu pada fakta bahwa bahwa sementara Tuhan berdaulat menentukan semua yang ditetapkan terjadi, namun "pilihan bebas" manusia ( sukarela ) kompatibel dengan keputusan Allah yang berdaulat . Dengan kata lain kehendak bebas dari paksaan eksternal, tetapi tidak bebas dari keharusan . Secara eksplisit tidak ada ayat Alkitab yang menggunakan frasa "kehendak bebas" , karena Alkitab tidak pernah menegaskan atau menggunakan istilah ini. Jadi, ketika beberapa teolog menggunakan kata "bebas " mereka mungkin menyalahgunakan atau mengimpor bahasa filosofis dari luar Alkitab.

John Calvin mengatakan :
"...we allow that man has choice and that it is self-determined, so that if he does anything evil, it should be imputed to him and to his own voluntary choosing. We do away with coercion and force, because this contradicts the nature of the will and cannot coexist with it. We deny that choice is free, because through man's innate wickedness it is of necessity driven to what is evil and cannot seek anything but evil. And from this it is possible to deduce what a great difference there is between necessity and coercion. For we do not say that man is dragged unwillingly into sinning, but that because his will is corrupt he is held captive under the yoke of sin and therefore of necessity will in an evil way. For where there is bondage, there is necessity. But it makes a great difference whether the bondage is voluntary or coerced. We locate the necessity to sin precisely in corruption of the will, from which follows that it is self-determined.


Sebelum kejatuhan, kehendak bebas Adam tidak terjerat dalam kejahatan , sehingga bebas dari perbudakan dosa, tetapi hal itu tak lepas dari keputusan pengetahuan Allah . Pilihannya memberontak benar-benar terjadi secara sukarela, meskipun Allah telah menetapkan dengan pasti bahwa hal itu akan terjadi . Manusia belum termeterai dalam kebenaran, meskipun kecenderungannya ke arah yang baik . Melalui godaan Setan , bahwa manusia meninggalkan kecenderungan baik dan memilih yang jahat, sehingga jatuh ke dalam dosa asal.

Jadi apakah manusia berdosa yang sudah mengalami kerusakan natur ilahinya itu masih dapat dianggap 'compatible' untuk merespons Allah yang sempurna berikut tawaran kasihNya itu, dengan kehendak bebasnya sendiri ?








[1] Kompatibilisme adalah pandangan bahwa kehendak bebas dan determinisme merupakat gagasan yang tidak bertentangan, dan meyakini keduanya pada waktu yang bersamaan bukan merupakan ketidakkonsistenan logika. Para kompatibilis percaya bahwa kebebasan dapat hadir dalam suatu situasi untuk alasan yang tidak ada kaitannya dengan metafisika. Misalnya, pengadilan menentukan apakah seseorang bertindak berdasarkan kehendak bebas mereka tanpa membawa isu metafisika. Begitu pula konsep kebebasan politik merupakan konsep non-metafisis. Para kompatibilis mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak tanpa halangan dari orang atau institusi lain. (Wikipedia)

[2] Libertarianisme adalah salah satu pandangan filosofis yang terkait dengan masalah kehendak bebas dan determinisme.Libertarianisme merupakan pandangan yang bersifat inkompatibilis, dan menekankan bahwa kehendak bebas secara logis tidak sesuai dengan konsep alam semesta yang deterministik, dan karena manusia memiliki kehendak bebas maka determinisme itu salah. Walaupun kompatibilisme (yaitu pandangan bahwa determinisme dan kehendak bebas tidak bertentangan secara logis) merupakan posisi yang paling populer di antara filsuf-filsuf profesional, libertarianisme metafisis juga didiskusikan (walaupun bukan berarti didukung) oleh Peter van Inwagen, Robert Kane, Robert Nozick, Carl Ginet, Hugh McCann, Harry Frankfurt, E.J. Lowe, Alfred Mele, Roderick Chisholm, Daniel Dennett, Timothy O'Connor, Derk Pereboom, dan Galen Strawson. Istilah "libertarianisme" dalam arti metafisis atau filosofis pertama kali digunakan oleh pemikir bebas dari abad pencerahan.Istilah ini pertama kali tercatat dalam tulisan William Belsham pada tahun 1789. (Wikipedia).