Senin, 30 Desember 2013

RENUNGAN NATAL



Kelahiran Dari Anak Dara

Penulis_artikel
John Rw Stott
Isi_artikel: 

Bishop David Jenkins meragukan bahkan menyatakan penyangkalannya mengenai realita sejarah mengenai kelahiran dari anak dara. Ia menyebutnya sebagai natur simbolis dan mitologis kisah kelahiran dari anak dara. Dalam suratnya Desember 1984 ia menulis bahwa sekelompok orang tidak dapat mengerti, atau tidak akan mendengarkan, point bahwa banyak dari kisah Alkitab adalah direalitakan, tidak dengan menjadi literatur yang benar, tapi karena menjadi simbol yang diinspirasikan oleh iman yang hidup mengenai aktifitas nyata dari Allah.
Tapi banyak dari kritik bishop tidak selalai dan juga tidak sekeras kepala seperti yang ditunjukkannya. Kita tahu dengan baik bahwa ada jenis literatur yang disebut mitos yang memasukkan kebenaran dalam bentuk sejarah tanpa menyatakan bahwa itu bersifat sejarah. Ini tidak termasuk dalam perdebatan di antara kita. Banyak mitos kafir yang beredar dalam abad pertama, termasuk yang berasal dari Yunani dan Mesir asli mengenai satu dewa juruselamat yang lahir dari anak dara yang memerintah langit dan laut. Tapi kisah-kisah ini membuktikan sendiri bahwa mereka adalah mitos. Orang tidak percaya bahwa kisah itu adalah sejarah. Pertanyaannya adalah apakah para penulis Injil dengan sengaja menulis mitos ketika mereka mengisahkan kelahiran dari anak dara dan apakah mereka bermaksud untuk memberi pengertian semacam itu kepada kita. Jawaban saya: "Jelas tidak!". Profesor Henry Chadwick dalam artikelnya menunjukkan bahwa di dalam Pengakuan Iman Rasuli adalah pernyataan yang tercatat dalam sejarah dan ada yang puitis. Kalimat Ia duduk di sebelah kanan Allah Bapa termasuk dalam pengertian puitis tetapi Ia dilahirkan oleh Anak Dara Maria dan Pada hari yang ketiga Ia bangkit dari antara orang mati termasuk pernyataan yang berdasarkan sejarah.
Benar bahwa hal kelahiran Yesus dari anak dara tidak mendapat penekanan sebanyak yang terjadi dalam hal mengenai kematian dan kebangkitanNya dalam Perjanjian Baru. Tidak ada dalam khotbah-khotbah awal Petrus dalam Kisah Rasul maupun kesimpulan Paulus mengenai Injil dalam I Korintus 15 yang menyinggung mengenai kelahiran Yesus dari anak dara. Meskipun keempat penulis Injil sesungguhnya menuliskan seperti yang dikatakan Markus Injil mengenai Yesus Kristus (Markus 1:1), dan meskipun Matius dan Lukas dalam Injil mereka mencatat mengenai kelahiran dari anak dara, tapi tidak ada tempat dalam Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa catatan itu menjadi bagian integral dengan Kabar Baik. Meskipun demikian jelas diajarkan dalam Injil dan sejak itu menjadi kepercayaan yang diterima dengan suara bulat dari gereja universal. Pengajaran dan tradisi ini tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Selain itu, adalah suatu hal yang serasi bahwa Satu Pribadi yang supranatural (yang adalah Allah dan manusia) harus memasuki, seperti juga meninggalkan dunia ini, dengan cara yang supranatural.
Serangan atas kelahiran dari anak dara bukanlah hal yang baru. Sebaliknya mereka sama tuanya dengan kekristenan itu sendiri. Dalam abad pertama banyak orang Yahudi Ebionit dan sekte tertentu dari Gnostik menyangkal keilahian Yesus dan oleh sebab itu menghilangkan kisah kelahiran dari anak dara. Dalam abad kedua, bidat Marcion, yang menolak sepenuhnya Perjanjian Lama, mempublikasikan satu versi dari hanya satu Injil (Lukas) dengan mengabaikan kedua pasal pertamanya. Kemudian golongan rasionalis dan skeptis dari setiap abad meragukan atau meremehkan kelahiran dari anak dara. Contohnya Renan, humanis dari Perancis dengan bukunya Vie de Je'sus yang menimbulkan sensasi ketika beredar dalam tahun 1863, memulai bab keduanya demikian: "Yesus dilahirkan di Nazaret, sebuah kota kecil di Galilea, yang sebelumnya tidak melahirkan orang yang terkenal.... Ayahnya Yusuf dan ibunya Maria adalah orang-orang dari kalangan bawah." Kritik ini biar bagaimana pun juga berasal dari luar gereja.
Yang baru sekarang ini adalah pandangan mereka ditoleransi di dalam gereja, bahkan di antara pemimpin gereja yang seharusnya dengan khidmat menjaga dan mengajarkan iman Kristen yang bersejarah. Pada awal abad ini penahbisan William Temple ditunda dua tahun sampai ia yakin mengenai kelahiran Yesus dari anak dara dan kebangkitan tubuh, dan dalam 1917 dan 1918 Kepala bishop Randall Davidson menolak untuk menahbiskan Hensley Henson yang sedang dicalonkan untuk menjadi Bishop of Hereford, sampai ia mampu memberikan jaminan yang memuaskan bahwa ia tidak menyangkal doktrin-doktrin dalam Pengakuan Iman Rasuli. Sebab Kepala Bishop John Habgood menahbiskan David Jenkins tanpa menerima jaminan yang sama sehingga banyak dari kita diganggu oleh pandangan yang mendukakan ini.
Mungkin bijaksana jika pada point ini menjelaskan pengertian dari kelahiran dari anak dara. Ada ekspresi yang salah, karena menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa mengenai kelahiran Yesus, sementara kelahiranNya seluruhnya adalah normal dan alamiah. Penghamilannya yang tidak biasa, karena sesungguhnya bersifat supernatural; karena ia diyakinkan dengan pekerjaan dari Roh Kudus, tanpa kerjasama dari seorang bapa manusiawi.
Dalam diskusi kita mengenai kelahiran dari anak dara, ada dua pertanyaan yang perlu ditanyakan. Yang pertama mengenai kesejarahannya (Apakah itu sungguh-sungguh terjadi?) dan yang kedua adalah signifikansinya (Apakah yang terjadi?)
Kesejarahan mengenai kelahiran dari anak dara
Ketika kita menimbang bukti-bukti sejarah untuk kelahiran dari anak dara, ada empat bukti harus dipikirkan. Pertama, kesaksian dari para penulis Injil: Matius dan Lukas keduanya menanggung dualitas kesaksian mengenai keperawanan dari Maria. Benar, mereka menelusuri jejak genealogi Yesus melalui Yusuf dan tidak dirintangi dalam menunjuk kepada Yusuf sebagai bapak dari Yesus. Tapi setelah ia menikah dengan Maria, ia adalah ayah yang sah dari Yesus. Maka tidak ada kesulitan di sini. Faktanya adalah bahwa menurut penulis Injil pertama dan ketiga, ketika Maria mengandung ia bertunangan, bukan menikah dengan Yusuf, dan ketika Yesus dilahirkan ia tetap seorang perawan. Lagipula cukup jelas bahwa Matius dan Lukas mempercayai hal ini. Mereka menulis dalam bentuk prosa bukan puisi, sebuah sejarah dan bukan mitos. Beberapa sarjana memperdebatkan bahwa Matius pada khususnya (bukan Lukas, yang mengklaim pengusutan sejarah telah diperhatikan) tidak cenderung untuk menuliskan sebuah narasi murni sejarah, tapi ia bebas mengembangkan dan membubuhi sumber-sumbernya sehingga akibatnya adalah sebuah midrash, yaitu pencampuran sejarah dengan yang non-sejarah, yang (lebih lanjut dikatakan) merupakan sebuah bentuk yang biasa yang dikenal dalam literatur Yahudi pada jamannya. Namun demikian perkiraan ini jauh dari pembuktian. Bukti kurang dalam tiga area kritis: pertama, bahwa itu merupakan genre literatur yang biasa pada waktu itu (tidak kelihatan menjadi seperti demikian sampai abad kedua); kedua bahwa Matius cenderung untuk menulis Midrash (ia pasti tidak membumbui Perjanjian Lama dengan fiksi, seperti yang dilakukan oleh para penafsir Midrash; dan ketiga bahwa orang-orang pada jamannya itu mengertinya untuk menggunakan bentuk khusus ini (yang tidak dilakukan oleh bapak-bapak gereja pada awal gereja). Selain itu, ketika seseorang membaca injil Matius dengan segar, ia didorong oleh detail konteks sejarah dari kelompok orang, tempat-tempat dan waktu yang di dalamnya ia letakkan dalam kisahnya.
Jika ditekankan bahwa Matius dan Lukas percaya bahwa Maria adalah ibu Yesus adalah seorang dara, lalu timbul pertanyaan: mengapa Markus dan Yohanes tidak mengatakan demikian juga? Dan mengapa sisa dari Perjanjian Baru membisu mengenai kelahiran Yesus dari anak dara? Dalam menjawabnya, kita mulai dengan mengingat bahwa argumen bisu jelas tidak dapat diandalkan. Contohnya, Markus dan Yohanes tidak mengatakan apa-apa mengenai masa kecil Tuhan Yesus, tapi kita tidak mengkonklusikan dari hal ini bahwa Yesus tidak pernah mempunyainya. Kemudian ada bukti tidak langsung bahwa Yohanes tidak tahu mengenai masalah ini dan percaya kelahiran dari anak dara. Saya tidak hanya berpikir mengenai pernyataan agungnya bahwa "Firman telah menjadi daging dan tinggal ... di antara kita." (Yohanes 1:14), tetapi juga mengingat kembali pernyataan bahwa Yesus "datang dari atas", "turun dari surga", "diutus oleh Bapa", "datang ke dalam dunia." Beberapa intervensi supranatural menjadi penting untuk membuat hal-hal ini dapat diterima.
Fakta bahwa Markus dan Yohanes mengabaikan kisah Kristus sebenarnya tidak relevan untuk alasan sederhana bahwa mereka tidak diharuskan untuk menulis hanya tentang kelahiran dan masa kecil Yesus saja. Mereka berdua memilih untuk memulai kisah dari Yohanes Pembaptis. Point signifikansi adalah hanya dua penginjil yang menekankan penjelasan kelahiran Yesus dan menyatakan bahwa Ia dilahirkan dari seorang dara.
Faktor kedua yang perlu dipikirkan adalah keotentikan suasana yang disinggung dalam kisah. Ketika kita membaca pasal-pasal awal dari Matius dan Lukas. Kita dibawa kembali kepada hari-hari akhir dari Perjanjian Lama. Zakaria dan Elisabet, Yusuf, Maria, Simeon dan Hana adalah orang-orang beribadah dari Perjanjian Lama yang memandang dan menantikan kerajaan Allah. Konteksnya kaya dengan kesalehan khas Perjanjian Lama. Bahasa, gaya dan susunan dari cerita-cerita adalah seluruhnya berciri Ibrani. Jauh dari tambahan legenda yang kemudian. Kisah-kisah ini terdengar dan terasa seperti ditulis pada masa sangat awal.
Sebagai tambahan, kisah-kisah ini mengungkapkan kesederhanaan dan kebijaksanaan. Sesungguhnya cerita-cerita kafir pada masa itu mengisahkan mengenai dewa-dewa yang melakukan hubungan seks dengan manusia perempuan. Tetapi pada tempat dari mitos yang sadis dan fantastik itu, para penginjil bungkam. Mereka memperlakukan keintiman yang suci mengenai dikandungnya Yesus dengan cara yang paling halus.
Ketiga, kita harus menanyakan tentang keaslian cerita kelahiran anak dara. Kisah Matius dan Lukas memiliki kesamaan inti. Mereka berdua menunjukkan hubungan kehamilan Maria dengan Roh Kudus, bukan Yusuf dan mereka juga menunjukkan kepada problem dan kekuatiran yang disebabkan oleh keperawanannya. Tetapi perhitungan mereka jelas berdiri sendiri (tidak ada bukti persekongkolan), saling melengkapi (mereka mengisahkan dari perspektif yang berbeda). Lukas menulis pengumuman kepada Maria dan kebingungannya seperti bagaimana dia dapat menjadi seorang ibu sementara belum menikah. Matius, di lain pihak, menulis penemuan Yusuf bahwa Maria hamil dan kebingungannya, keputusan untuk menceraikan Maria karena itu bukan anaknya, dan mimpinya di mana di dalamnya Allah mengatakan kepadanya untuk mengambil Maria sebagai seorang istrinya. Pada puncaknya, fakta harus datang dari Maria dan Yusuf sendiri, baik dalam bentuk tulisan atau bentuk perkataan. Selama Lukas dua setengah tahun bebas di Palestina, yang saya hubungkan, tampak segala kemungkinan bahkan kemungkinan bahwa ia bertemu dengan Dara Maria secara pribadi dan menerima cerita dari bibirnya sendiri. Dalam seluruh keadaan, bukti-bukti dari dalam menunjukkan bahwa dalam Perjanjian Baru kita memiliki dua kisah asli, pada awal, yang terpisah, yang berbicara mengenai kelahiran anak dara, masing-masing berdiri sendiri, satu sama lain saling melengkapi, yang satu dari Yusuf, yang lain dari Maria.
Faktor keempat yang kita akan lihat adalah gosip mengenai kelahiran di luar nikah dari Yesus. "Fakta pertama dan paling tidak bisa dibantah mengenai kelahiran Yesus" tulis JAT Robinson, munculnya dari Wedlock. Satu pilihan yang tidak berbukti bahwa Yesus adalah anak sah dari Yusuf dan Maria. Hanya satu pikiran terbuka bagi kita antara kelahiran anak dara dan kelahiran di luar nikah.
Jelas bahwa gosip kemungkinan kelahiran di luar nikah dari Yesus sudah tersebar selama ia terjun melayani dalam masyarakat dalam usaha untuk menjatuhkanNya. Contohnya: ketika Ia mengemukakan bahwa pasti orang Yahudi yang tidak percaya tidak memiliki Abraham sebagai bapa, tapi si jahat. Mereka membantah, "Kami bukan anak-anak haram!" yang sepertinya sebagai sindirian bahwa itulah Ia (Yohanes 8:41). Pada lain kesempatan, kali ini dalam kotaNya sendiri, ketika orang-orang diserang oleh pengajaranNya, mereka bertanya, "Tidakkah ini anak Maria?" (Markus 6:3). Dalam lingkungan patriakh ini adalah pembicaraan yang menghina, sindiran yang tidak mungkin meleset. Kemudian dalam kesempatan ketiga, orang-orang tidak percaya bertambah, berteriak kepada seorang buta sejak lahir yang disembuhkan oleh Yesus (Yohanes 9:29). Gosip ketidaksahan Yesus bertahan lama setelah kematianNya. Dalam Talmud Yahudi hal ini menjadi jelas. Dalam abad III sarjana Kristen Origen harus menjawab kritik hinaan dari Celsus bahwa Yusuf membawa Maria keluar dari rumahnya karena ia telah berjinah dengan seorang serdadu bernama Panthera. Bagaimana dalam dunia ini dapat timbul gambaran dan fitnahan kecuali telah diketahui bahwa Maria telah mengandung ketika Yusuf menikahinya? Betapa tidak menyenangkannya gossip ini tetapi inilah bukti nyata dari kelahiran anak dara.
Signifikansi dari Kelahiran anak dara
Kita maju sekarang dari bukti kesejarahan kelahiran anak dara kepada pertanyaan mengenai signifikansinya: Apa yang terjadi? Kita telah mencatat bahwa kelahiran Yesus tidak mendapat penekanan dalam Perjanjian Baru yang sama seperti kebangkitanNya, bukan merupakan suatu kejutan kecil, sejak kebangkitanNya dipublikasikan dan mempunyai saksi mata, sementara kelahiran anak dara adalah hal yang bersifat sangat pribadi dan tidak mempunyai saksi. Tapi jurusan yang dipakai para pengritik untuk menyerang menunjukkan bahwa mereka mengenali kepentingannya.
Catatan Lukas mengenai pengumuman itu: Lukas 1:26-36:
Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata, "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepadaNya takhta Daud, bapa leluhurNya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan KerajaanNya tidak akan berkesudahan." Kata Maria kepada malaikat itu: "Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?" Jawab malaikat itu kepadanya: "Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki- laki pada hari tuanya dan inilah bulan keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. "
Setelah malaikat memberi salam kepada Maria sebagai seorang yang mendapat anugerah khusus dan kehadiran Allah, pemberitahuannya kepada Maria mengenai tujuan Allah ada dalam dua tahap, yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Yang pertama menekankan kesinambungan Anaknya dengan masa lalu, karena Maria akan mengandungNya. Yang kedua menekankan ketidaksinambunganNya, bahkan keunikanNya, karena Roh Kudus akan menaungiNya.
Dalam bagian pertama (ayat 30-34) malaikat mewartakan bahwa Maria akan mengandung dan melahirkan seorang putra, Ia akan menjadi "besar" (dinamakan Yesus dan Putra Yang Maha Tinggi, yang berhubungan dengan pekerjaan penyelamatan MesianikNya) dan bahwa Ia akan memerintah di atas takhta BapaNya, Daud, dan memerintah atas rumah Yakub selama- lamanya. Dengan kata lain, Ia akan mewarisi dari ibuNya: kemanusiaan ("engkau akan .... melahirkan seorang putra") dan posisiNya di takhta Mesianik. Paling sedikit inilah yang diimplikasikan. Dengan yakin rasul Paulus kemudian menekankan hal ini ketika menuliskan bahwa Yesus "dalam naturNya sebagai manusia adalah keturunan Daud" (Roma 1:3). Pada waktu yang bersamaan, Yusuf secara eksplisit dijelaskan sebagai keturunan Daud. Dengan menamai Yesus (Matius 1:21,25), ia menerimaNya sebagai Putranya, dan dengan menerimaNya, membuktikan Ia mempunyai hak-hak legal sebagai anak sah.
Dalam bagian yang kedua (ayat 35) malaikat melanjutkan mengatakan bahwa Roh Kudus akan berada di atas Maria dan kuasa dari Yang Maha Tinggi akan menaunginya (awan dalam Alkitab adalah simbol dari kehadiran Allah). Dan oleh sebab itu anak yang akan dilahirkannya adalah unik, sebagai Yang Suci (berhubungan dengan ketidakberdosaanNya) dan Anak Allah (yang membuktikan dalam pengertian lebih dalam dari pada sebutan sebagai Mesias).
Dalam cara ini diumumkan kepada Maria bahwa kemanusiaan dan kemesiasan anaknya akan keluar daripadanya, ibu yang akan mengandung dan melahirkanNya, sementara ketidakberdosaan dan keilahianNya akan keluar dari Roh Kudus yang akan menaunginya dengan kuat kuasaNya. Kesinambungan akan terlihat pada kelahiran naturalNya melalui Maria, dan ketidaksinambungan dengan kehamilan supranatural melalui Roh Kudus. Ia akan menjadi keturunan Adam melalui kelahiranNya, tetapi diangkat menjadi Adam kedua (kepala dari kemanusiaan yang baru) melalui dikandungNya dari Roh Kudus.
Sebagai akibat dari kelahiran anak dara (yaitu, kebenaran dari Pengakuan Iman Rasuli bahwa Ia dikandung oleh Roh Kudus, dilahirkan dari Anak Dara Maria), Yesus Kristus secara bersamaan adalah anak Maria dan Anak Allah, manusia dan ilahi, Mesias dari keturunan Daud dan Juruselamat yang tidak berdosa bagi orang-orang berdosa. Karena Allah adalah bebas dan maha-kuasa dan kita tidak mempunyai kebebasan untuk membatasiNya, tanpa diragukan lagi Ia dapat melaksanakan tujuan ini melalui beberapa cara lain. Tapi Perjanjian Baru membuktikan bahwa Ia memilih cara melalui kelahiran anak dara, dan tidak sulit untuk mengerti kemasukakalan dan kelayakannya.
Respon Maria terhadap pengumuman dari malaikat menyentuh kekaguman langsung kita. "Aku adalah hamba Tuhan," ia berkata, "Jadilah kepadaku seperti yang kau katakan." Sekali tujuan dan metode Allah dijelaskan kepadanya, ia tidak keberatan. Keseluruhannya takluk kepadaNya. Ia mengekspresikan kerelaan totalnya untuk menjadi anak dara sebagai ibu dari Anak Allah. Jelas itu adalah hak istimewa baginya: "Yang Maha Kuasa telah melakukan hal besar bagiku," ia memuji (Lukas 1:49). Jelas itu menimbulkan kekaguman dan tanggung jawab besar juga. Menyangkut kesediaan untuk mengandung sebelum menikah dan membawa diri sendiri kepada malu dan penderitaan, dipandang sebagai perempuan yang tidak bermoral. Bagi saya kerendahan hati dan semangat Maria dalam penyerahan terhadap kelahiran anak dara kontras dengan sikap pengritik-pengritik yang menyangkal hal itu.
Kita perlu kerendahan hati Maria. Ia menerima tujuan Allah, berkata, "Jadilah padaku seperti yang kau katakan." Tapi kecenderungan dari banyak orang sekarang ini adalah menolaknya karena itu tidak sesuai dengan praanggapan mereka. Mereka yang menolak mujizat secara umum dan kelahiran anak dara khususnya karena mereka percaya alam semesta berada dalam suatu sistim tertentu, tidak tampak untuk melihat keganjilan dari perintah Pencipta, apa yang Ia ijinkan terjadi dalam ciptaanNya sendiri. Bukankah tidak ada lagi mode yang lebih baik untuk meneladani reaksi Maria dalam ketaatannya akan jalan Allah?
Kita juga membutuhkan semangat Maria, Ia sepenuhnya terbuka bagi Allah untuk memenuhi tujuanNya bahwa ia siap untuk mengambil resiko noda dengan menjadi ibu yang tidak menikah, menjadi orang yang disangka penjinah dan menanggung anak yang tidak sah. Ia menyerahkan reputasinya kepada kehendak Allah. Kadang saya heran jika penyebab utama dari begitu banyak teologi liberal adalah sarjana-sarjana yang lebih memperhatikan mengenai reputasi mereka di bandingkan wahyu Allah. Lucu tampaknya untuk menjadi naif dan cukup mudah percaya mengenai mujizat, mereka dicobai untuk mengorbankan wahyu Allah di altar kehormatan mereka sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa mereka selalu berbuat demikian. Tapi saya merasa benar dalam hal ini karena saya sendiri merasakan pencobaan ini. Tetapi jelas pengritik akan menyeringai dan memperolok-olok, biarkan mereka. Apa yang terjadi adalah kita membiarkan Allah menjadi Allah dan melakukan dengan caraNya, bahkan jika bersama Maria kita menghadapi resiko kehilangan nama baik kita.

Jumat, 27 Desember 2013

SOTEREOLOGI



KEDAULATAN ALLAH VS KEBEBASAN MANUSIA

Tanggung jawab dan pilihan sukarela (voluntary choices) tidak sama dengan kehendak bebas manusia (human free will) . Manusia memang bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat, namun Alkitab tidak mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk memilih yang baik menurut standar Allah sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa (Roma 3:23).

Alkitab mengajarkan bahwa Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi (Efesus 1:11) dan juga mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab untuk pilihannya sendiri ( Yehezkiel 18:20, Matius 12:37, Yohanes 9:41) . Alkitab adalah otoritas tertinggi kita dan presuposisi tertinggi dan banyak pernyataannya yang jelas mengenai hal ini, menembusi semua logika manusia yang terbatas. Hampir selalu ditemukan keberatan untuk  memahami konsep pemeliharaan Allah berkenaan atas pertimbangan moral dan filosofis di atas penafsiran eksegetikal . Ini berarti kita harus selalu berusaha secara sadar menegaskan bahwa apa yang Alkitab nyatakan melampaui seluruh pemahaman kita yang terbatas dan “dorongan manusiawi” untuk bebas dari keterikatan.

Adalah istilah "compatibilism" atau “kompatibilisme” [1] yang dipakai untuk menggambarkan persetujuan atas kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia . Compatibilism adalah bentuk determinisme dan perlu dicatat bahwa posisi ini tidak kurang deterministik dari determinisme berhaluan keras. Ini hanya berarti bahwa penentuan dan pemeliharaan Allah adalah "kompatibel" dengan pilihan sukarela manusia. Pilihan kita tidak dipaksa ... yaitu kita tidak memilih terhadap apa yang kita inginkan atau berdasarkan keinginan bebas, namun sesungguhnya kita tidak pernah membuat pilihan yang bertentangan dengan keputusan Allah yang berdaulat . Apa yang Tuhan tetapkan akan selalu terjadi ( Efesus 1:11) .
Dalam terang Kitab Suci (menurut compatibilism) , pilihan manusia itu dilakukan secara sukarela , tetapi keinginan dan keadaan yang membawa pilihan ini terjadi melalui determinisme atau dominasi ilahi . Sebagai contoh, Allah dikatakan menetapkan penyaliban Anak-Nya , namun orang-orang jahat dengan sengaja dan sukarela menyalibkanNya (lihat Kisah Para Rasul 2:23 dan 4:27-28 ) . Tindakan kejahatan tidak lepas dari keputusan Allah , tetapi bersifat sukarela , dan orang-orang ini dengan demikian bertanggung jawab untuk bertindak , menurut teks ini . Atau saat saudara-saudara Yusuf menjual dia ke perbudakan di Mesir , Yusuf kemudian menceritakan bahwa apa yang saudara-saudaranya rancangkan untuk kejahatan , dimaksudkan Tuhan untuk kebaikan (Kejadian 50:20) . Tuhan menentukan dan menetapkan bahwa peristiwa ini akan berlangsung (bahwa Yusuf akan dijual sebagai budak) , namun saudara-saudaranya secara sukarela membuat pilihan jahat, yang berarti dosa diimputasikan kepada saudara-saudara Yusuf untuk mengahsilkan tindakan jahat , dan itu bukan karena Tuhan.
Dalam kedua kasus ini , dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan dosa atau menakdirkan seseorang untuk berbuat dosa. Tidak ada yang hal yang terjadi di luar kemaha kuasaan dan kemahabaikanNya.
Kita harus menyadari compatibilism menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak bebas . Mereka yang percaya bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sebetulnya tidak compatibilists karena pada dasarnya manusia tidak benar-benar bebas (misalnya tidak bisa memilih di mana ia akan dilahirkan, sebagai orang kaya atau miskin, dll), sehingga dalam hal ini lebih tepatnya, disebut "tidak konsisten".

Pilihan manusia secara sukarela dan tidak dipaksa, sehingga manusia harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kita tidak membuat pilihan yang bertentangan dengan keinginan atau kodrat kita, atau terpisah dari pemeliharaan Allah .
Selanjutnya , compatibilism secara langsung bertentangan dengan para penganut Libertarianisme[2]  yang mengakui kehendak bebas . Oleh karena itu pilihan sukarela bukanlah kebebasan untuk memilih sebebas-bebasnya, yaitu , pilihan tanpa pengaruh , prasyarat sebelumnya , kecenderungan , atau disposisi semula. Sukarela berarti, bagaimanapun , kemampuan untuk memilih apa yang kita inginkan atau keinginan adalah yang paling sesuai dengan disposisi dan kecenderungan kita .
Ketika kaum compatibilists menggunakan frase seperti "kebebasan compatibilistic" , mereka , lebih sering daripada tidak , menggunakannya berarti pilihan 'sukarela' , tetapi tidak mengacu kepada kebebasan dari keputusan Allah atau kedaulatan mutlak (sebuah anggapan yang hampir mustahil).

Dalam terminologi Alkitab , manusia yang jatuh dalam perbudakan dosa (terkorupsi secara natur) dan itulah sebabnya mengapa para penulis Alkitab menganggapnya tidak bebas ( lihat Roma 6 ) . Yesus sendiri menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa adalah "hamba dosa" dan hanya Anak dapat membebaskannya . Perhatikan bahwa bahkan Yesus berbicara tentang jenis kebebasan di sini. Dia tidak berbicara tentang kebebasan dari Allah tetapi kebebasan dari belenggu dosa , yang merupakan jenis kebebasan mereka miliki yang ada di dalam Kristus. Dalam hal ini Allah adalah Pribadi yang paling bebas karena Dia adalah kudus , terpisah dari dosa ... namun Ia tidak bisa membuat pilihan yang bertentangan dengan esensi -Nya , yaitu Dia tidak bisa tidak menjadi suci . Jadi , kita harus menyimpulkan , menurut Yesus dalam Yohanes 8:31-36 , bahwa manusia duniawi tidak memiliki kehendak bebas, karena berada dalam perbudakan dosa . Setiap teolog yang konsisten yang menggunakan istilah "kebebasan" biasanya mengacu pada fakta bahwa bahwa sementara Tuhan berdaulat menentukan semua yang ditetapkan terjadi, namun "pilihan bebas" manusia ( sukarela ) kompatibel dengan keputusan Allah yang berdaulat . Dengan kata lain kehendak bebas dari paksaan eksternal, tetapi tidak bebas dari keharusan . Secara eksplisit tidak ada ayat Alkitab yang menggunakan frasa "kehendak bebas" , karena Alkitab tidak pernah menegaskan atau menggunakan istilah ini. Jadi, ketika beberapa teolog menggunakan kata "bebas " mereka mungkin menyalahgunakan atau mengimpor bahasa filosofis dari luar Alkitab.

John Calvin mengatakan :
"...we allow that man has choice and that it is self-determined, so that if he does anything evil, it should be imputed to him and to his own voluntary choosing. We do away with coercion and force, because this contradicts the nature of the will and cannot coexist with it. We deny that choice is free, because through man's innate wickedness it is of necessity driven to what is evil and cannot seek anything but evil. And from this it is possible to deduce what a great difference there is between necessity and coercion. For we do not say that man is dragged unwillingly into sinning, but that because his will is corrupt he is held captive under the yoke of sin and therefore of necessity will in an evil way. For where there is bondage, there is necessity. But it makes a great difference whether the bondage is voluntary or coerced. We locate the necessity to sin precisely in corruption of the will, from which follows that it is self-determined.


Sebelum kejatuhan, kehendak bebas Adam tidak terjerat dalam kejahatan , sehingga bebas dari perbudakan dosa, tetapi hal itu tak lepas dari keputusan pengetahuan Allah . Pilihannya memberontak benar-benar terjadi secara sukarela, meskipun Allah telah menetapkan dengan pasti bahwa hal itu akan terjadi . Manusia belum termeterai dalam kebenaran, meskipun kecenderungannya ke arah yang baik . Melalui godaan Setan , bahwa manusia meninggalkan kecenderungan baik dan memilih yang jahat, sehingga jatuh ke dalam dosa asal.

Jadi apakah manusia berdosa yang sudah mengalami kerusakan natur ilahinya itu masih dapat dianggap 'compatible' untuk merespons Allah yang sempurna berikut tawaran kasihNya itu, dengan kehendak bebasnya sendiri ?








[1] Kompatibilisme adalah pandangan bahwa kehendak bebas dan determinisme merupakat gagasan yang tidak bertentangan, dan meyakini keduanya pada waktu yang bersamaan bukan merupakan ketidakkonsistenan logika. Para kompatibilis percaya bahwa kebebasan dapat hadir dalam suatu situasi untuk alasan yang tidak ada kaitannya dengan metafisika. Misalnya, pengadilan menentukan apakah seseorang bertindak berdasarkan kehendak bebas mereka tanpa membawa isu metafisika. Begitu pula konsep kebebasan politik merupakan konsep non-metafisis. Para kompatibilis mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak tanpa halangan dari orang atau institusi lain. (Wikipedia)

[2] Libertarianisme adalah salah satu pandangan filosofis yang terkait dengan masalah kehendak bebas dan determinisme.Libertarianisme merupakan pandangan yang bersifat inkompatibilis, dan menekankan bahwa kehendak bebas secara logis tidak sesuai dengan konsep alam semesta yang deterministik, dan karena manusia memiliki kehendak bebas maka determinisme itu salah. Walaupun kompatibilisme (yaitu pandangan bahwa determinisme dan kehendak bebas tidak bertentangan secara logis) merupakan posisi yang paling populer di antara filsuf-filsuf profesional, libertarianisme metafisis juga didiskusikan (walaupun bukan berarti didukung) oleh Peter van Inwagen, Robert Kane, Robert Nozick, Carl Ginet, Hugh McCann, Harry Frankfurt, E.J. Lowe, Alfred Mele, Roderick Chisholm, Daniel Dennett, Timothy O'Connor, Derk Pereboom, dan Galen Strawson. Istilah "libertarianisme" dalam arti metafisis atau filosofis pertama kali digunakan oleh pemikir bebas dari abad pencerahan.Istilah ini pertama kali tercatat dalam tulisan William Belsham pada tahun 1789. (Wikipedia).

Sabtu, 23 Februari 2013


CARA HIDUP ANAK TUHAN
Nats: Filipi 4: 11b-13; 21-24; Roma 8: 37; 2Kor 2:14


Ada dua macam orang: Pertama, orang yang ketika dalam kesusahan, dan kondisi sulit itu tidak berubah menurut pemikirannya setelah ia berdoa kepada Tuhan, ia me­rasa Allah tidak mempedulikan dia, karena itu ia marah dan meninggalkan Tuhan. Kedua, orang yang ketika hidupnya lancar dipenuhi dengan kesenangan justru terlena dan mengabaikan Tuhan. Dua macam orang ini saya sebut orang yang dikalahkan oleh kesulitan dan orang yang dihanyutkan oleh kenikmatan. Ternyata tidak ada jaminan dalam kondisi hidup fisik yang dapat membuat seseorang tetap setia kepada Tuhan. Karena memang bukan kondisi luar, tetapi hati (sikap batin) itulah yang menentukan respon seseorang kepada Tuhan. Allah yang adil memberi situasi yang berbeda kepada setiap orang. Jika seseorang memiliki hati yang benar kepada Allah, walaupun dalam penderitaan yang berat ia tetap memuliakan Tuhan, dan ketika berada dalam kehidupan yang penuh berkat, ia lebih mencintai Tuhan daripada segala berkat-berkat Tuhan yang siap untuk diambil daripadanya. Tanpa sikap hati yang benar, dalam situasi apa pun orang yang akan selalu meresponi Allah secara salah.
Paulus memberikan teladannya yang indah ketika ia mengungkapkan sikapnya dalam perkataan berikut: “Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:11b-13). Dalam mengalami kesulitan, deraan, ancaman, kengerian ia tidak menjadi kecewa, ketika ia menerima keadaan yang diberkati, kesukaan, kenyamanan, kelimpahan dan anugerah Tuhan ia tidak menjadi hanyut.
Kesulitan maupun kelancaran merupakan suatu situasi yang sama-sama beresiko untuk mengikis kesetiaan kita kepada Tuhan. Dalam perenungan ini, kita akan memfokuskan kepada bagaimana kita dapat menang atas situasi sulit yang kita hadapi. Saya akan mensharingkan 4 prinsip, yang diharapkan dapat menolong kita ketika menghadapi situasi hidup yang sulit dengan sikap yang benar. Dengan pemahaman dan perspektif iman Kristen yang benar, ia akan dimampukan untuk berespon benar supaya boleh mengalami hidup berkemenangan bersama Tuhan.
Pertama, sadarilah bahwa kita hidup dalam suatu drama kosmik yang sangat menentukan. Kebenaran ini terungkap dalam kitab Ayub. Seluruh kehidupan Ayub, termasuk kehidupan batinnya terbuka bagi pengamatan dan penilaian Allah, malaikat dan Iblis. Ia ditempatkan di dalam posisi yang crucial, di mana seakan-akan kehormatan Allah dipertaruhkan dalam respon Ayub, dan jika dia gagal Iblis mendapat alasan untuk mencemooh Allah. Namun melalui kehidupan Ayub, Allah mau menunjukkan bahwa ada manusia yang akan tetap beriman dan mengasihiNya walaupun mengalami kesulitan terberat. Jikalau ia gagal maka iblis berkesempatan melawan serta mencemooh Tuhan. Tapi, yang terjadi justru melalui respon Ayub yang penuh kesetiaan kepada Allah itu ia mempermalukan Iblis. Inilah kehidupan yang mestinya diwujudkan oleh orang Kristen yang telah menerima anugerah Perjanjian Baru yang melebihi tokoh-tokoh Perjanjian Lama.
Setiap orang diberi kondisi hidup yang berbeda oleh Tuhan. Namun seperti dalam film, yang menjadi ukuran bukanlah kenyamanan peran si aktor, tetapi bagaimana ia memerankannya. Jika dalam film yang menjadi penilaian adalah kemampuan acting, maka dalam hal rohani yang menjadi penilaian ialah bagaimana menjalankan perannya dilihat dari sudut moral dan rohani: yang menjadi ukuran bukanlah apakah kita kaya atau miskin, pintar atau bodoh, sehat walfaiat atau didera oleh penyakit yang berkepanjangan, panjang umur atau hidup yang singkat; yang menjadi ukuran ialah apakah dalam
Ada orang yang sepanjang hidupnya tetap miskin bukan karena malas atau bodoh, sebaliknya ada orang yang dari kecil hingga tua selalu hidup dalam kelimpahan. Ada yang seumur hidupnya dipenuhi dengan kesulitan, sebaliknya ada yang jalan hidupnya begitu mulus. Cara berpikir yang duniawi akan menilai orang yang hidupnya dipenuhi kesusahan itu bernasib buruk dan gagal, dan orang yang hidupnya enak itu bernasib baik dan sukses. Jika orang Kristen masih terjebak dalam cara pandang yang duniawi ini, maka perhatiannya hanya tertuju kepada mengusahakan kenyamanan hidup dan kelepasan dari kesulitan, dan bukannya pada kualitas hidup yang harus ia wujudkan. Karena itu, tidak heran, ketika dilanda kesulitan, mereka penuh dengan sungut dan keluhan kepada Allah (mengkorfirmasikan tuduhan Iblis, yang tentu saja salah), dan kehilangan fokus untuk dalam situasi hidup mereka untuk semakin memuliakan Allah. Di tengah-tengah kesulitan hidup yang memuncak, justru Ayub menyatakan kesaksian hidup yang sulit dilampaui. Di tengah-tengah kehidupan yang hancur oleh kelumpuhannya, Joni Erickson Tada justru menyatakan suatu kehidupan yang begitu mulia.

Kedua, bagi anak Allah, keadaan sulit yang kita alami bukanlah keadaan tak diberkati, sebaliknya mungkin itu adalah saat yang paling indah dalam hidup kita. Ketika berada dalam kondisi yang sulit, terjepit, merasa lemah, keadaan yang memaksa kita bergantung penuh kepada Allah, seringkali kita menganggapnya sebagai bad time (waktu yang buruk), kondisi buruk yang tidak diberkati. Inilah alasan ketika berada dalam kondisi tersebut satu-satunya keinginan kita ialah cepat-cepat keluar dari situasi itu, setelah itu baru kita merasa diberkati. Tetapi dalam pengalaman saya, saya belajar bahwa saat berada di dalam kelemahan itu adalah saat-saat di mana saya paling dekat dengan Tuhan, itulah saat yang indah bersama Tuhan. Dan saat saya merasa kuat, mantap, dewasa, mandiri, mungkin itu adalah saat saya mulai tidak begitu bergantung lagi kepada Tuhan dan mulai agak liar atau bahkan sangat liar.
Jangan salah mengerti bahwa saya mengajarkan supaya kita menginginkan kehidupan yang terus dalam kesuraman dan penderitaan, karena itu bukan maksud Tuhan atas hidup kita. Kekristenan adalah agama yang positif, yang penuh dengan pujian kemenangan dan sukacita. Karena itu, tidak salah jika dalam kesulitan, sakit, kesedihan, kita menginginkan Tuhan memberikan kelepasan, kelimpahan dan sukacita kepada kita. Tetapi apa yang mau saya tegaskan di sini ialah marilah kita belajar untuk melihat masa suram itu secara positif dari perspektif Kristen, bahwa jika saya berada dalam situasi seperti itu di situ pun Allah hadir dan kasih rahmatNya menopang aku, bahkan lebih penuh kasih mesra.
Ada sesuatu yang unik dalam kehidupan ma­nu­sia, seringkali masa-masa sulit yang pernah kita alami dulu, seperti krisis, bahaya, kesulitan hidup, dsb kita ingat kembali dengan perasaan nostalgia. Demikian juga, dikatakan mengenai hubungan dalam pernikahan: krisis pernikahan yang dilalui dengan penuh ketabahan bahkan berguna untuk membangun kasih dan kepercayaan yang kokoh antara keduanya, suatu hal yang tidak pernah akan dimengerti dan dialami oleh mereka yang telah menyerah.

Ketiga, dengan memfokuskan pikiran hanya pada kebahagiaan di masa yang akan datang, kita telah menyia-nyiakan realitas kehidupan masa kini, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang indah dan sangat berharga. Sayur pare itu pahit, jangan dibuang, sebaliknya belajarlah untuk menikmatinya, karena itu sayur yang baik/berguna dan enak. Hidup ini sulit, ini adalah fakta tidak dapat kita tolak. Namun jika kita menyikapinya dengan benar, maka masa-masa sulit itu dapat menjadi pengalaman yang indah bersama Tuhan. Andaikan kita diberi umur 40 tahun, dan 20 tahun terisi oleh kesulitan, apakah berarti kita hanya akan memiliki 20 tahun hidup yang bermakna? Bagi saya, asal kita berjalan bersama Tuhan, maka kita tetap akan memiliki 40 tahun bermakna yang sangat berharga.
Blaise Pascal mengatakan: kita tidak pernah [sungguh-sungguh] hi­dup hanya untuk masa kini .... Kita bersikap tidak bijaksana dengan mengembara dari satu masa ke masa lain yang sesungguhnya bukan milik kita. Kita ... mengabaikan apa yang sungguh-sungguh ada. Kita bersikap demikian karena momen sekarang biasanya adalah sesuatu yang menyakitkan, itulah sebabnya kita menekannya...
Kita cenderung membebani pikiran kita dengan masa lalu dan masa yang akan datang, dan jarang memikirkan masa kini.... Kita menjadikan masa  masa lalu dan masa kini sebagai sarana, dan hanya menjadikan masa yang akan datang sebagai tujuan kita. Dengan cara berpikir demikian, kita tidak pernah sungguh-sunguh hidup, sebab kita hanya hidup dalam pengharapan, mengharapkan sesuatu yang belum ada, sedangkan yang ada dibuang-buang. Dengan selalu merencanakan bagaimana kita dapat menjadi bahagia, kita tidak pernah berada dalam kebahagiaan itu. (Pensees).
Keempat, dengan memandang masa “sulit” sekarang sebagai hal yang negatif dan hanya memikirkan kebahagiaan yang belum tiba maka kita lalai menyambut maksud Tuhan dalam situasi kita itu. Tidak ada pengalaman kita yang alami yang terjadi di luar kontrol Allah. Dan jika Ia mengizinkan kita mengalami suatu kesulitan  pasti ada maksud baik dari Allah bagi kita. Kita tahu bahwa: “Allah ... bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yagn terpanggil sesuai dengn rencana Allah.” (Rm 8:28). Dan jika dalam setiap situasi hidup kita terdapat maksud Allah yang baik, maka marilah kita menyambut maksudNya itu.
Saint John of the Cross (Santo Yohanes dari Salib) mengungkapkan apa yang dinamainya the dark night of the soul (jiwa yang berada dalam kegelapan malam). Ia mengatakan demikian, “Berada di dalam kegelapan malam bukanlah sesuatu yang buruk dan destruktif. Sebaliknya ini bagaikan pengalaman orang sakit yang menyambut ahli bedah yang menjanjikan kesehatan dan kesembuhan kepadanya. Tujuan dari kegelapan ini tidak dimaksudkan untuk menyakiti atau menghukum kita tetapi untuk menyembuhkan kita. Inilah kesempatan yang Tuhan pakai untuk menarik kita lebih dekat kepadaNya.” Inilah pengalaman dan prinsip rohani yang mendalam untuk menghadapi realita hidup sebagai anak Allah yang mendapat identitas dan destiny penuh kemuliaan.
Ia melanjutkan, “Dalam saat-saat seperti ini mungkin kita akan merasa kering, depresi bahkan putus asa. Tetapi ini merupakan keadaan yang baik karena melucuti setiap ketergantungan kita yang berlebihan kepada perasaan ataupun kondisi-kondisi fisik di luar. Pandangan yang sering kita dengar adalah bahwa pengalaman kekelaman ini harus kita hindari sebagai syarat untuk mengalami kedamaian, penghiburan dan sukacita adalah pikiran yang salah. Sebab berada di dalam keadaan yang gelap ini adalah salah satu cara yang Allah pakai untuk memberikan kepada kita keheningan, ketenangan sehingga Ia dapat melakukan transformasi batin dari dalam kita. Ketika Allah membawa kita ke dalam keadaan demikian, bersyukurlah, karena Allah dalam kasih sayangNya yang besar sedang menarik kita keluar dari gangguan supaya kita dapat melihat Dia secara lebih jelas. Dalam keadaan demikian jangan memberontak atau melawan tapi belajarlah untuk diam dan menantikan Tuhan.”
Allah mempunyai program yang mulia dalam hidup kita, membawa kita ke dalam kemuliaan. Ia ingin membentuk kita menjadi baru dan yang mulia. Dan kesulitan merupakan keadaan yang sangat kondusif untuk pekerjaan ini. Saat kita sedang hancur, saat ego kita telah dihancurkan, itulah saat kita bagaikan tanah liat yang telah dihancurkan untuk siap dibentuk ulang secara baru. Jika dalam saat demikian, kita salah mengerti dan memberontak, kita telah berlaku bodoh dan merugikan diri kita sendiri. Sebagian tidak tahan dalam kegelapan yang kelam ini sehingga ia mencari pengalaman rohani palsu yang menimbulkan gairah dalam hatinya yang kering, tetapi tindakan ini justru mengganggu program Tuhan. Guru-guru palsu telah menawarkan pengalaman agama palsu untuk mengisi kekeringan yang seharusnya diisi oleh Tuhan, akibatnya kepekaan rohani mereka menjadi tumpul. Apa yang mestinya kita miliki pada saat-saat seperti ini ialah berdiam diri di hadapan Allah dan menantikan Tuhan. Manusia tidak selalu menolong, terkadang mereka justru menjadi pengganggu yang mengalihkan perhatian kita dari suara Tuhan. Nabi Yesaya berkata: “dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.” Tetapi kamu enggan, kamu berkata, ‘Bukan, kami mau naik kuda dan lari cepat’, maka kamu akan lari dan lenyap. Katamu pula, ‘Kami mau mengendarai kuda tangkas’, maka para pengejarmu akan lebih tangkas pula.” (Yesaya 30:15-16).

Setiap kali kita mengalami kesulitan, carilah maksud Tuhan dalam situasi yang kita hadapi itu. Jangan kita dilumpuhkan oleh kesulitan, tetapi temukan ‘mutiara’ (berkat rohani) di balik kondisi sulit itu. Justru saat di dalam di penjara, Paulus menulis surat-suratnya yang paling penting dan menjadi berkat besar bagi gereja Kristen sepanjang masa, yaitu surat Efesus, Filipi, Kolose, Filemon dan Roma. Demikian juga saat dipenjarakan John Bunyan menulis Pilgrim Progress, karya sastra alegoris terindah dan bermutu tinggi di antara literatur Kristen. Perhatikanlah respon kita dalam masa-masa sulit itu supaya jangan kesulitan itu dilewati tanpa mendapatkan berkat rohani dari Tuhan itu. Amin.

Selasa, 29 Januari 2013


KERAJAAN ALLAH




PENDAHULUAN
“Bertobatlah Kerajaan sorga telah datang” (Mat 4:17) adalah seruan yang disampaikan Yesus diawal pelayanan-Nya. namun Ia pada mulanya tidak memberikan penjelasan tentang apakah yang dimaksud dengan istilah “Kerajaan Sorga” tersebut. Nampaknya ada anggapan bahwa para pendengar-Nya saat itu mengenal dengan jelas arti istilah itu oleh karena konsep tentang Kerajaan ini merupakan bagian nubuatan yang tercatat di dalam Perjanjian Lama, yaitu berkenaan dengan pemerintahan Allah; bahwa Allah akan menegakkan kebenarannya di dalam setiap aspek dari pengalaman manusia. 


PENGERTIAN ISTILAH
Pada mulanya konsep tentang Kerajaan Allah ini bersifat eskatologis yang dikaitkan dengan Kerajaan Israel.

The Kingdom of God was still another basic topic of Jesus teaching. Whereas this kingdom had traditionally been understood as a future earthly reign of Christ which would be established by His dramatic second coming[1]

Secara etimologi, istilah “Kerajaan” baik di dalam bahasa Yunani basileia, “Basileia”[2] yang berarti tingkatan, kekuasaan, kedaulatan yang dimiliki seorang raja. Jadi suatu basileia berarti suatu wilayah yang atasnya seorang raja menggunakan kekuasaannya.[3] Jika kata ini berarti “Kerajaan Allah”, maka artinya adalah pemerintahan Allah, kekuasaan Allah, kedaulatan Allah dan bukan wilayah berlakunya pemerintahan itu.[4] Sementara itu di dalam Perjanjian Lama, istilah yang dipakai adalah  twklm, “Malkuth”  berarti “Kerajaan”, “pemerintahan”, “peraturan” menunjukkan pengertian (1). “daerah kekuasaan sebuah Kerajaan” (Est 1:4), “pengangkatan ke atas tahta” (Est 4:14), “masa pemerintahan” (Est 2:16).

Istilah lain yang dipergunakan di dalam Perjanjian Lama adalah hklmam, “Mamlakah” yang memiliki arti yang sama, namun arti dasarnya adalah daerah dan sekelompok orang yang membentuk sebuah Kerajaan. Dalam kaitannya dengan Israel, istilah ini secara khusus menunjuk Israel sebagai Kerajaan Allah (Kel 19:6 Bd: 2Sam 7:16; Yeh 37:22). juga menunjuk kepada seorang raja tertentu yang memerintah sebuah Kerajaan (Bd: 1Sam 28:17).

Secara umum di dalam Perjanjian Lama memberikan pengertian tentang “Kerajaan” ini sebagai ekspresi dari peraturan pemerintahan dan kaitannya dengan seorang raja tertentu, yaitu ditandai dengan adanya “tahta” (Ul 17:18), suatu kota pemeritahan (1Sam 27:5). Perjanjian Lama sangat menekankan konsep pemerintahan Allah ini; Tuhan memerintah sebagai Raja atas umat-Nya Israel (1Taw 29:11). Dengan kemurahan-Nya Ia memerintah atas umat-Nya mulai dari Daud sampai kepada masa pembuangan (2Taw 13:5).[5]

Basic to the thought of the kingdom of God, therefore, is its Divine origination and operation, though it comes to earthly and visible expression in the world. In redemption God may choose a people, subdue them unto Himself, rule over them as their King, call them unto the previleges of His rule and the duties of their high calling (Exodus 19:5-6; 1Peter 2:9-10).[6]

Ungkapan “Kerajaan Sorga” di dalam pengharapan orang Yahudi sesudah pembuangan mengandung unsur campur tangan Allah yang sungguh diharapkan Israel, untuk memulihkan kebahagiaan umat-Nya dan membebaskannya dari kuasa musuh. Kedatangan Kerajaan Allah adalah perspektif masa depan yang dipersiapkan oleh kedatangan Mesias dalam meratakan jalan bagi Kerajaan Allah.[7]

Pemberitaan yang disampaikan oleh Yohanes Pembaptis dan Yesus ini memberikan pengertian yang universal dan menimbulkan kerinduan yang tinggi akan sejarah yang lama dinanti-nantikan, yaitu campur tangan Allah untuk memulihkan segala sesuatu. Berkhof memberikan pengertian tentang Kerajaan Allah sebagai pemerintahan Allah yang ditetapkan dan diterima dalam hati orang berdosa melalui kuasa dan yang melahirbarukan dari Roh Kudus yang menjamin mereka memperoleh berkat-berkat keselamatan yang tidak terkirakan[8].  Jadi pengertian di sini lebih bersifat spiritual dan tidak nampak. Yesus sendiri memegang konsep eskatologis ini dan mengajarkan pengertian ini di dalam pengajaran-Nya, bahwa pernyataan Kerajaan Allah itu bersifat spiritual dan memiliki karakter universal. Ia juga mengajarkan konsep Kerajaan Allah ini berbeda dengan konsep yang diterima sebelumnya oleh orang Yahudi dan mengkaitkannya dengan aspek masa kini dan pengharapan akan berkat-berkatnya pada masa mendatang.[9]

Thema tentang kedatangan Kerajaan sorga adalah inti kedatangan Yesus di dalam inkarnasi-Nya. Kemudian datanglah Yesus orang Nazaret dengan membawa berita, “Bertobatlah sebab Kerajaan Surga sudah dekat” (Mat 4:17). Bagaimana manusia dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah (Mat 5:20; 7:21). Karya-karya-Nya membuktikan bahwa Kerajaan sorga sudah datang (Mat 12:28). Perumpamaan-perumpamaan yang diajarkan-Nya memberikan gambaran tentang kebenaran Kerajaan sorga (Mat 13:11). Doa yang diajarkan kepada para murid mengajarkan tentang pengharapan kedatangan Kerajaan sorga (Mat 6:10). Pada malam sebelum kematian-Nya, Ia berjanji kepada para murid bahwa Ia akan menikmati kebahagiaan dan persekutuan di dalam Kerajaan itu bersama dengan mereka (Luk 22:29-30). Ia juga berjanji akan membawa berkat Kerajaan itu kepada orang-orang yang bagi mereka semua itu telah disediakan (Mat 25:31,34).


LATAR BELAKANG PERJANJIAN LAMA

Oleh karena konsep tentang “Kerajaan Sorga” ini berkaitan dengan masa depan Israel, maka harus ditelusuri terlebih dahulu hal apakah yang menjadi catatan di dalam Perjanjian Lama, khususnya berkaitan dengan pengharapan umat Israel akan kedatangan Mesias yang akan mentegakkan Kerajaan-Nya di dalam dunia ini.

Bagi orang Israel makna “Kerajaan” ini mempunyai tempat yang penting sekali di dalam kehidupan dan pengharapan mereka. Wawasan tentang hal ini dapat dilihat beberapa kali di dalam berita Perjanjian Lama.[10] Berita tentang “Kerajaan” ini juga menjadi tujuan pengajaran para nabi bahwa akan ada suatu Kerajaan Ilahi di mana Allah dilukiskan sebagai Raja, baik atas Israel maupun atas seluruh umat manusia (Kel 15:18; Ul 33:5; Yes 43:15; Yer 46:18).

Dwight Pantecost membagi aspek Kerajaan Allah ini di dalam dua kategori, “eternal kingdom” dan “theocratic kingdom”[11] Kerajaan yang bersifat Teokratis ini dapat ditelusuri dari Taman Eden, periode pemerintahan manusia di dalam masa Nuh, periode para Patriakh, Kerajaan di dalam masa hakim-hakim, dan terakhir di dalam masa para nabi.[12] Melalui kitab Yesaya terlihat konsep tentang Kerajaan ini, khususnya berkenaan dengan masa depan Kerajaan yang berkaitan dengan Yerusalem dan dengan Yehuda. Misalnya (1). di dalam pasal 4:2-4 menyatakan bahwa Allah akan hadir sebagai hakim pada “hari-hari yang terakhir”. (2). Dalam kaitannya dengan kelahiran Kristus di dalam pasal 9:6-7. Sekali lagi bagian ini menyatakan pemerintahan Allah yang ada di dalam dunia yang ditandai dengan beberapa faktor, seorang anak akan lahir; tahtanya akan disebutkan tahta Daud, pemerintahannya akan dijalankan dengan keadilan dan kebenaran dan semuanya akan digenapi di dalam kuasa Allah. (3). Pasal 11:1-9 adalah bagian yang sangat jelas mengungkapkan kedatangan Kristus dan karakteristik dari pemerintahan-Nya di dalam dunia.

Demikian juga di dalam kitab Yeremia terlihat adanya prediksi yang dilakukannya, bukan saja akhir dari masa pembuangan setelah 70 tahun (Yer 29:10) melainkan juga penggenapan restorasi Israel (Yer 23:5-8). Penggenapan nubuatan ini terjadi pada saat kembalinya bangsa ini kepada tanah mereka  dan juga di dalam penegakkan kembali keadilan dan kebenaran oleh Allah yang sama yang pernah membawa mereka keluar dari perbudakan di Mesir.

Sementara itu di dalam kitab Yehezkiel, konsep “Kerajaan” digambarkan berkenaan dengan penghakiman terhadap Israel pada masa kedatangan Kristus kembali dan hanya mereka yang taat dan percaya kepada-Nya yang akan diselamatkan dan memasuki tanah perjanjian. (Yeh 20:34-38, 42).

Meskipun berita tentang Kerajaan Allah di dalam Perjanjian Lama pada hakekatnya yang persis sulit untuk dijelaskan, namun memberikan kesan Kerajaan itu sudah ada dan juga masih akan datang. Para nabi menyampaikan berita bahwa Allah memerintah berdasarkan kedaulatan-Nya sendiri. Mereka juga memandang ke depan, yaitu pada suatu masa di mana Allah memerintah di tengah umat-Nya dan hal ini menjadi nyata bagi semua orang (Bd: Yes 24:23). Bahwa gagasan tentang pemulihan Kerajaan Daud sebagai sarana yang digunakan Allah untuk tampil sebagai raja Israel.

Penting juga untuk diperhatikan di sini adalah konsep tentang Apokaliptik yaitu adanya jenis kerajaan yang bersifat sorgawi. Dengan demikian ada dua berita, Kerajaan yang bersifat fisik dan Kerajaan yang bersifat rohani (Bd: Dan 7).

Donald Guthrie mengatakan bahwa keterangan tentang adanya kedua aspek ini menunjukkan bahwa keduanya tidak dibeda-bedakan secara tajam. Masa antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru hanya mengembangkan gagasan yang bersifat ganda itu.[13] Nampaknya kedua aspek ini saling bercampur satu sama lain. Pada masa ini keyakinan bahwa Kerajaan Allah akan diwujudkan di bumi dikaitkan dengan sikap pesimis mengenai pemulihan kerajaan Daud. Memang ada kecenderungan menempatkannya pada masa mendatang karena mungkin sekali orang Yahudi hanya memikirkan tentang Kerajaan yang diharapkan akan segera datang. Di sinilah pengertian pemberitaan Yohanes pembaptis dapat dipahami.


"KERAJAAN ALLAH" DI DALAM PENGAJARAN TUHAN YESUS

Konsep tentang Kerajaan Allah muncul di dalam pelayanan Tuhan Yesus berkaitan dengan pengajaran di dalam Perjanjian Lama, secara khusus berkenaan dengan konsep Apokaliptik Yudaisme. C.C. Caragounis mengatakan ada beberapa aspek penting di dalamnya, yaitu bahwa konsep ini lebih kepada hal yang bersifat dinamis daripada menunjuk kepada hal yang bersifat geografis, berhubungan dengan Anak Manusia, tidak berkaitan dengan konsep perjanjian dan merupakan pengharapan di masa mendatang.[14]

Di dalam Injil Sinoptik, berita yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah bahwa Kerajaan Allah itu sudah datang; bahwa janji Allah tentang Kerajaan-Nya ini sudah digenapi dan harus ada suatu keputusan yang diambil.[15] Lebih lanjut Caragounis mengatakan bahwa Kerajaan Allah ini dinyatakan di dalam dua hal, (1). Inti utama dari pengajaran Tuhan Yesus dan (2). Dikonfirmasikan melalui pekerjaan-pekerjaan-Nya yang ajaib (bd: Mat 4:23; 9:35). Komponen yang ketiga dihubungkan dengan pribadi Tuhan Yesus sebagai Anak manusia.[16]

1. Tuntutan Kerajaan Allah
Di dalam pengajaran-Nya Yesus mengungkapkan tentang pengharapan dan kondisi tentang Kerajaan Allah. Ia mengajarkan bahwa hal memasuki Kerajaan tersebut diperlukan pertobatan dan percaya kepada Injil Tuhan (Mat 4:17; Mrk 1:15). Di bagian lain, Yesus mengatakan diperlukan iman seperti seorang anak kecil (Mat 18:3; Mrk 10:14). Perihal tentang Kerajaan Allah ini juga nampak sebagai hal yang sangat radikal, misalnya diperlukan hati yang tidak bercabang dan hanya tertuju kepada-Nya. Ia mengatakan bahwa mereka yang siap membajak tetapi menoleh ke belakang, ia tidak layak untuk Kerajaan Allah (Luk 9:62); bahkan seseorang harus mengorbankan semua yang dimilikinya, harta, keluarga, pernikahan (Mat 19:12; Mrk 10:21-27). Namun Yesus juga mengatakan bahwa semua orang yang melakukan semua itu akan menerima balasan berkali lipat (Mrk 10:29-31).

2. Etika Kerajaan Allah
Etika Kerajaan Allah dapat dikatakan sebagai tuntutan etika Allah sendiri terhadap setiap orang yang telah ditetapkan-Nya untuk melakukan kehendak-Nya yang sempurna. Pengajaran tentang etika Kerajaan Allah ini secara khusus diajarkan oleh Yesus di atas bukit (Lih: Mat 5-7; Luk 6:17-49)[17]. Dan merupakan kesinambungan dari pengajaran tentang etika di dalam Perjanjian Lama walaupun di dalamnya Ia juga memberikan berbagai macam pengkoreksian dan penjelasan maksud yang sebenarnya dari setiap tuntutan etika Allah terhadap umat-Nya. Hal ini ternyata dari perkataan-Nya, yaitu ketika Ia mengatakan, “Kamu telah mendengarkan yang difirmankan kepada nenek moyang kita … tetapi Aku berkata kepadamu … “ (Lih: Mat 5:21, 27, 31, 33, 38, 43, dsb).

Khotbah di bukit ini merupakan “Didakhe” yang mengungkapkan standard kehidupan bagi orang-orang percaya yang berada di dalam Kerajaan Allah, atau merupakan penjelasan Tuhan Yesus tentang watak dari mereka yang sudah berada di dalam Kerajaan Allah dan sekaligus merupakan keterangan sifat kesusilaan yang diharapkan dari mereka. Jadi, Khotbah di Bukit lebih berarti “Intisari Kehidupan Kristen”.[18]

Isi dari Khotbah di bukit yang diajarkan Tuhan Yesus ini bukanlah merupakan suatu peraturan yang baru, melainkan suatu penegasan tentang dasar kehidupan etika dan pengaruhnya di dalam kehidupan orang-orang yang berada di dalam Kerajaan Allah, yaitu mereka yang telah mengalami penebusan-Nya. Penggenapan semua yang menjadi isi Khotbah ini adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi apabila Allah menjadi Raja, “menjadi semua di dalam semua” di dalam kehidupan orang percaya (Bd: 1Kor 15:28).

3. Aspek Waktu Kerajaan Allah
Seperti disebutkan di atas bahwa konsep tentang Kerajaan Allah merupakan inti pengajaran Tuhan Yesus. Ia menggambarkan Kerajaan itu sudah datang dan dinyatakan di dalam diri dan pekerjaan Tuhan Yesus sendiri. Inilah yang kerap dipahami sebagai aspek masa kini Kerajaan Allah.  Hal ini dapat terlihat dari mujizat yang dilakukan-Nya sebagai bukti kedatangan Kerajaan Tuhan[19], misalnya dari pekerjaan Tuhan di dalam penyembuhan orang yang kerasukan setan (Luk 11:20 bd: Mat 12:29), perbuatan ajaib berkenaan dengan penggenapan nubuat, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta ditahirkan, orang mati dibangkitkan, dan kabar kesukaan diberitakan kepada orang miskin (Mat 11:2 dst; Luk 7:18 dst). Kerajaan Allah itu telah datang di dalam Dia dan dengan Dia. Dialah auto-basilea.”
Selain itu ternyata konsep Kerajaan Allah ini juga memiliki aspek yang tersembunyi. Yesus mengajarkan hal ini kepada para murid-Nya bahwa ada kemungkinan timbulnya kekecewaan di dalam diri manusia dan pada akibatnya menolak Yesus oleh karena berhadapan dengan aspek yang tersembunyi ini. Bahwa Kerajaan Allah itu sudah datang di dalam diri Yesus adalah benar, namun belum mencapai penggenapannya yang sempurna.


4. Problema “Ephthasen” (Mat 12:28; Luk 11:20)
Di dalam Injil Sinoptik ada dua ayat yang mengatakan bahwa Kerajaan Allah sudah datang dan hal ini ditandai dengan pekerjaan Tuhan Yesus mengusir setan dengan kuasa Roh Allah. Permasalahan segera timbul berkenaan dengan pernyataan dan pelayanan Tuhan Yesus yang lain yang dicatat di dalam Sinoptik, misalnya bagaimanakah kaitannya dengan “sisa” kehidupan dan pelayanan Tuhan dan begaimana dengan “kewajiban” Anak Manusia yang menyerahkan nyawanya untuk menjadi tebusan bagi banyak orang? Apakah signifikasi kematian-Nya dan bagaimanakah Tuhan Yesus menghubungkan antara kematian-Nya dengan konsep Kerajaan Allah tersebut.


5. Problema “Entos Hymon Estin” (Luk 17:21)
Ini adalah masalah lain berkenaan dengan kehadiran Kerajaan Allah. Di dalam ayat ini Yesus sedang menjawab pertanyaan para Farisi tentang kedatangan Kerajaan Allah; bahwa perihal Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan: ‘lihat ia ada di sini atau ia ada di sana! Sebab sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu,’ (entos hymon estin). “Entos” berarti “inside”, “within” Kata ini digabungkan dengan “hymon” dalam pengertian “di tengah-tengah kamu”, “di dalam genggamanmu”, dsb. Penggunaan istilah ini oleh Lukas nampaknya untuk mengkontraskannya dengan “meta paratereseos” (dengan tanda-tanda yang dapat diamati),[20] maksudnya para Farisi ketika melihat semua tanda-tanda yang dilakukan oleh Yesus akan bertanya apakah Ia Mesias yang akan datang untuk mendirikan Kerajaan itu? Yesus menjawab mereka bahwa hal itu bukanlah tanda-tanda kedatangan Kerajaan Allah dan mengajarkan mereka jangan mengandalkan tanda-tanda itu untuk memberi kepastian. Geldenhuys mengatakan bahwa ada dua alasan yaitu pertama, kedaulatan Allah bahwa hal “telah datang” adalah di dalam diri Yesus Kristus berkenaan dengan penyelamatan-Nya di mana Ia dikenal sebagai Mesias dan berkenaan dengan penghakiman-Nya kepada mereka yang menolak-Nya. Kedua, bahwa kedatangan Kerajaan-Nya bersifat tiba-tiba dan tidak diharapkan sehingga tidak ada seorangpun yang dapat memperkirakannya secara tepat ketika saat itu tiba.[21]



PERUMPAMAAN TENTANG KERAJAAN ALLAH

Yesus juga mengajar dengan menggunakan berbagai macam perumpamaan untuk melukiskan realita Kerajaan Allah. Setiap perumpamaan melukiskan berbagai aspek yang berbeda dari Kerajaan Allah itu, misalnya perumpamaan tentang seorang penabur melukiskan tanggapan setiap orang terhadap berita tentang Kerajaan Allah (Mat 13:3-9; Mrk 4:3-9).
Di dalam Perjanjian Baru ada tujuh buah perumpamaan yang menjelaskan arti realita, karakteristik yang berbeda dan juga aspek-aspek yang berbeda dari Kerajaan Allah. (1). Penabur dan Benih, (2). Musuh yang Menabur Lalang, (3). Biji Sesawi, (4). Ragi, (5). Harta Terpendam, (6). Mutiara yang Indah dan (7). PukatPerumpamaan pertama mengenai asal-usul Kerajaan, perumpamaan kedua sampai ke tiga menggambarkan usaha dan keinginan Iblis untuk menghambat dan merintangi pertumbuhan Kerajaan, perumpamaan kelima dan keenam menunjukkan sikap orang yang mencari Kerajaan itu walaupun ada tipu muslihat Iblis dan perumpamaan terakhir menggambarkan kesempurnaan Kerajaan itu. Kalau digabungkan maka semua perumpamaan itu menunjuk kepada sifat, asal-usul, halangan dan kemenangan pekerjaan Kristus dalam memberitakan Injil-Nya melalui pada utusan-Nya antara waktu kedatangan-Nya yang pertama dan kedatangan-Nya yang kedua kali.


1. Perumpamaan Benih dan Tanah (Matius 13:1-23)
Perumpamaan ini menekankan perihal bermacam-macamnya jenis hati orang dan reaksi mereka terhadap firman, apakah akan menerima atau menolaknya. Boice memberikan pembagian hati ini sebagai :

(1). Hati yang keras yang ditandai dengan gambaran tanah yang keras). Tanah itu menjadi keras karena terus-menerus terinjak orang sehingga benih yang jatuh di atasnya tidak akan dapat masuk ke dalamnya. Kemudian datanglah burung-burung (yang dibandingkan oleh Kristus sebagai Iblis atau pekerjaan jahat memakan benih tersebut.  Inilah gambaran dari hati yang menolak kebenaran firman yang datang kepada mereka oleh karena dosa. Dosa mengakibatkan orang selalu menolak kebenaran firman Tuhan, menolak kebenaran Allah.[22]

(2). Hati yang dangkal yang digambarkan sebagai tanah yang tipis dan berbatu. Memang benih itu masuk ke dalam tanah ketika ditaburkan, tetapi hanya sedikit saja. Benih itu segera tumbuh, namun juga cepat layu kena panas matahari sebab tidak berakar. Yesus menerangkan arti gambaran ini sebagai orang yang mendengar firman, segera menerimanya tetapi tidak berakar dan hanya sebentar saja bertahan. Penindasan dan penganiayaan akan firman akan mengakibatkan mereka murtad. Secepat mereka percaya, secepat itu pulalah mereka murtad karena mereka sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh dilahirkan kembali.
(3). Hati yang terhimpit digambarkan sebagai benih yang terjatuh di antara semak duri. Inilah gambaran dari orang yang telah mendengar firman lalu kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan menghimpitnya firman itu sehingga tidak berbuah. Menarik sekali, Yesus memberikan penjelasan tentang kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan mempunyai kuasa untuk menghimpit kebenaran firman sehingga tidak berbuah sebagaimana mestinya. Untuk masalah ini Yesus pernah memperingatkannya, misalnya Ia mengatakan tentang sukarnya orang kaya masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Mat 19:23 bd: Mrk 10:25), celakalah mereka yang kaya (Luk 6:24). Permintaan-Nya terhadap anak muda yang kaya untuk menjual hartanya dan mengikuti Dia (Luk 18:23). Hal ini tidak berarti orang percaya tidak boleh memiliki harta dan menjadi kaya, namun apakah kekayaannya itu mendominasi sedemikian rupa sehingga menghimpit imannya kepada Tuhan.

(4). Hati yang terbuka yang diibaratkan seperti tanah yang baik di mana benih yang jatuh akan masuk, berakar dan bertumbuh di dalamnya sehingga berbuah seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat (ay.23). Inilah gambaran dari orang yang menerima firman dan menghasilkan buah rohani. Hanya hati yang terbuka sajalah yang akan menerima faedah keuntungan pemberitaan Injil dan diselamatkan.

2. Perumpamaan tentang Lalang (Matius 13:24-43)
Bagian ini menggambarkan sikap musuh yang menabur benih lalang pada waktu malam hari di ladang milik petani. Benih lalang itu tumbuh bersama dengan benih gandum sehingga tidak dapat dibedakan sampai pada masa penuaian tiba. Benih lalang akan dikumpulkan dan dibakar sementara benih gandum akan dituai dan dibawa ke dalam lumbung.

Yesus sendiri memberikan arti terhadap perumpamaan ini bahwa orang yang menabur benih yang baik adalah Anak Manusia, ladang adalah dunia, musuh petani adalah Iblis. Dengan kata lain, perumpamaan ini memberikan gambaran tentang perlawanan dari Iblis yang aktif menentang perluasan Kerajaan Allah di bumi ini. Boice mengatakan bahwa maksud perumpamaan ini semata-mata hendak memberitahukan bahwa Iblis akan menyodorkan orang-orang (entah di dalam gereja atau di luar gereja) yang menyerupai orang-orang Kristen sejati, tetapi bukan Kristen yang sesungguhnya sehingga bahkan para hamba Allahpun tidak dapat membedakannya.[23] Dapat dikatakan isi perumpamaan ini mirip juga dengan perumpamaan lain disampaikan-Nya - walaupun tidak dijelaskan artinya - di dalam perumpamaan tentang biji sesawi yang tumbuh menjadi pohon besar dan tentang ragi yang dicampurkan ke dalam adonan.

3. Perumpamaan Biji Sesawi dan Ragi (Matius 13:31-33)
Kedua perumpamaan ini mempunyai kaitan yang sangat erat dan melukiskan perkembangan dan pertumbuhan Kerajaan Allah sampai pada waktunya akan memenuhi seluruh dunia dan kaitannya dengan pekerjaan Iblis. Perumpamaan tentang Biji Sesawi mengajarkan bahwa Kerajaan Allah dimulai dari sesuatu yang kecil yang kemudian bertumbuh menjadi besar sementara perumpamaan tentang ragi mengajarkan pengaruh dari Kerajaan Allah yang bekerja secara diam-diam namun pasti.[24]

Ada banyak penafsiran terhadap perumpamaan ini, misalnya jika dikaitkan dengan beberapa pandangan tentang Eskatologi, baik itu Postmillenium maupun Amillenium menyatakan bahwa pada akhirnya Kerajaan Allah akan mencapai kemenangannya di bumi, yaitu pada saat kedatangan Tuhan Yesus kali yang kedua.

Sementara itu Arno C. Gaebelein mengemukakan hal yang lain lagi. Ia mengatakan bahwa perumpamaan ini menerangkan tentang perluasan yang aneh dan berbahaya serta bersifat birokratis dari gereja dan pekerjaan Iblis yang merongrong seperti ragi. Ia mengatakan, “Semua perumpamaan ini memperlihatkan pertumbuhan kejahatan dan merupakan nubuatan untuk seluruh zaman di mana kita hidup.[25]
Penulis sendiri lebih menyetujui pandangan dari James M. Boice. Ia mengatakan bahwa kedua perumpamaan ini menyatakan pekerjaan Iblis dengan beberapa alasan:

(1). Pertumbuhan biji sesawi menjadi pohon adalah tidak wajar karena seharusnya biji ini bertumbuh menjadi semak-semak. Jadi di sini Kristus sedang berbicara tentang pertumbuhan yang aneh dari biji sesawi dan para pendengar-Nya akan segera menyadari ada yang tidak beres di sini.

(2). Konteks Matius 13 menggambarkan burung disamakan dengan Iblis atau pekerjaan jahat sehingga mengubahnya menjadi hal yang sebaliknya menunjukkan ketidak-konsistenan mengerti konteks. Boice mengatakan, “… benar-benar aneh apabila suatu unsur (burung-burung) yang melambangkan si jahat pada permulaan pasal ini akan berubah artinya sama sekali pada hanya tiga belas ayat sesudahnya”.

(3). Di dalam Perjanjian Lama, ragi adalah gambaran kejahatan. Di dalam hukum orang Israel ragi tidak boleh ada pada korban yang dipersembahkan kepada Tuhan dengan dibakar. Pada waktu hari raya roti tidak beragi, setiap orang Yahudi yang setia harus memeriksa rumahnya kalau-kalau ada ragi dan memusnahkannya. Yesuspun berbicara tentang bahaya ragi orang Farisi dan Saduki yang berarti pengaruh jahat mereka (Mat 16:12; Mrk 8:15).[26] Jadi ragi di sini sebenarnya memberikan arti simbolis segala sesuatu yang jahat daripada yang baik sehingga bagaimana pengertian ini dimengerti sebaliknya.

4. Perumpamaan Harta Terpendam & Mutiara
Perumpamaan ini bermaksud mengungkapkan cara kerja Allah di dalam hati seseorang atau menguraikan jenis orang yang telah dihidupkan di dalam Kristus. Di dalam kedua perumpamaan ini mengungkapkan sikap dan tindakan kedua orang yang menemukan harta berharga, baik orang yang menemukan harta terpendam maupun pedagang yang menemukan mutiara. Meskipun demikian terdapat kontras pula di antara keduanya. Orang yang menemukan harta terpendam jelas tidak mencarinya. Penemuannya secara kebetulan. Yesaya telah memberikan gambaran tentang orang semacam ini ketika ia berkata, “Aku telah berkenan memberi petunjuk kepada orang yang tidak menanyakan Aku; Aku telah berkenan ditemukan oleh orang yang tidak mencari Aku” (65:1). Di dalam kasus si pedagang, penemuan mutiara itu adalah hasil pencarian yang lama dan terus menerus. Orang semacam ini dikatakan oleh Tuhan Yesus ketika Ia berkata, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu, carilah maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7).

Kedua perumpamaan ini menyatakan perihal mengejar yang berharga. Kedua orang di dalam perumpamaan ini menyadari nilai dari harta yang ditemukannya dan kemudian memutuskan untuk memilikinya. Mereka menjual segala kepunyaannya untuk membeli harta tersebut dan pada akhirnya mereka mendapatkannya.

5. Perumpamaan tentang Pukat
Di dalam perumpamaan ini juga terdapat prinsip pengumpulan dan pemisahan - antara ikan yang baik dan yang buruk. Kelihatannya perumpamaan ini berisi pengulangan berita dari perumpamaan yang sebelumnya, misalnya dengan perumpamaan lalang dan gandum. Namun jika diteliti perumpamaan ini memiliki kekhususan, yaitu adanya pemisahan antara ikan yang baik dan yang buruk, orang yang benar dari orang yang jahat dan penderitaan mereka yang dicampakkan ke dalam dapur api. Dengan kata lain, perumpamaan ini merupakan peringatan kepada orang-orang jahat, bahwa demikianlah kelak nasib mereka.

Ada tiga fakta penting tentang pemisahan di dalam perumpamaan ini :

(1). Pemisahan ini bersifat mutlak. Allah sendiri yang menetapkan untuk mengadakan pemisahan ini; bahwa orang yang tidak percaya kepada-Nya akan berhadapan dengan penghakiman-Nya dan mereka yang percaya kepada-Nya akan menerima kebahagiaan bersama dengan-Nya di dalam kekekalan.

(2). Pemisahan ini bersifat ‘diputuskan terlebih dahulu’ dalam arti dasar keputusan ini sudah diletakkan di bumi, apakah seseorang percaya memutuskan percaya kepada Kristus atau justru mengesampingkannya.

(3). Pemisahan bersifat permanen. Ketika ketetapan pemisahan ini dilakukan - apakah pemisahan ikan yang baik dan membuang yang tidak baik atau mengumpulkan lalang dan membakarnya -  tidak akan ada perubahan di dalamnya.


KONSEP KERAJAAN ALLAH DI DALAM KITAB-KITAB INJIL

Sekarang akan dibahas secara khusus konsep tentang Kerajaan Allah ini di dalam berita setiap para penulis Injil. Pengajaran Tuhan Yesus yang penting di dalam Kitab-kitab Injil adalah Ia menekankan perihal Kerajaan Allah dan hal ini berkaitan dengan tujuan misi Yesus.

1. Injil Matius
Matius menuliskan Injilnya ini kurang lebih tahun 60 AD. Ia tidak menggunakan istilah “Kerajaan Allah”, melainkan “Kerajaan Sorga”. Hal ini berkaitan dengan tujuan atau alamat Injil ini ditujukan, yaitu kepada orang Yahudi. Mereka sangat menghargai dan menghormati nama “Allah” (YHWH) sehingga istilah ini diganti dengan “Sorga” namun tidak mengurangi arti yang dimaksud.

Matius mencatat khotbah Yohanes yang menyerukan “Kerajaan Sorga sudah dekat!” tanpa harus menjelaskannya lebih lanjut oleh karena para pendengarnya sudah mengetahui dengan jelas apakah yang dimaksudkannya, yaitu tentang Kerajaan Mesias sebagaimana yang dijanjikan di dalam Perjanjian Lama. Bahwa semua nubuatan kedatangan Kerajaan yang kelihatan yang diperintah oleh Mesias yang duduk di atas takhta Daud. Ia akan memerintah atas bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa bukan Yahudi. Bahwa Kerajaan ini milik orang miskin di hadapan Allah yang dianiaya oleh sebab kebenaran, yang menaati semua hukum Tuhan, yang melaksanakan kehendak Allah, yang mencari kebenaran Tuhan (Mat 5:3,10,19,20; 6:10,33; 7:21). Dengan kata lain, Kerajaan Mesias ini akan meliputi seluruh dunia dan merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat oleh mata. Jadi bukanlah merupakan kerajaan yang bersifat rohani.

Berita tentang Kerajaan ini mulai diberitakan oleh Yohanes dan kemudian diajarkan Tuhan Yesus. Ia mulai membuktikan Diri-Nya sebagai Mesias yang dinanti-nantikan mereka melalui sejumlah perbuatan mujizat yang dilakukan-Nya. Meskipun banyak orang menjadi takjub dan menyambut pengajaran serta perbuatan mujizat itu, Tuhan Yesus berkata tentang mereka, “Hati bangsa ini telah menebal” (Mat 13:15). Di bagian lain Ia berkata, “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu … tetapi kamu tidak mau (Mat 23:37). Orang Israel tidak mau menerima dan bahkan menolak Kerajaan yang diberitakan Yesus dan pada akhirnya menyalibkan Dia. Para pemimpin Yahudi berseru di waktu huru-hara penyaliban, “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan anak-anak kami!” (Mat 27:25).

Kerajaan Sorga di dalam Injil ini bersifat lahir, dapat terlihat dan akan terjadi di dunia ini pada masa yang akan datang. Ketika malaikat memberitakan kelahiran Yesus, ia mengatakan “Tuhan akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya (Luk 1:32). Semua ini akan menjadi kenyataan yang pasti pada saat kedatangan-Nya yang kedua kelak, Ia akan menaiki takhta itu. Jadi hal ini tidak dapat diartikan secara rohani.

2. Injil Markus
Di dalam Injil Markus menyatakan berita Tuhan Yesus tentang Kerajaan Allah yang dikaitkan dengan berita Injil dan aspek waktu, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” (1:15). Di dalam struktur Markus, berita ini menunjukkan proklamasi Kerajaan Allah yang menjadi inti khotbah Yesus. Inilah seruan tentang penggenapan kedatangan Kerajaan Allah. Walaupun masih dimengerti di dalam aspek masa mendatang, digambarkan juga sebagai sudah dekat dan bahkan sudah datang.

Markus pasal 4 secara khusus menunjukkan pengajaran yang bersifat parabolik tentang misteri Kerajaan Allah kepada para murid-Nya. Mereka dimungkinkan untuk memahami misteri tersebut dan hal ini tidak akan dialami mereka yang bukan menjadi murid-Nya (4:11). Kerajaan Allah digambarkan sebagai benih yang ditaburkan dan bertumbuh secara perlahan (4:26). Di dalam pasal 9:1, Kerajaan Allah digambarkan bersifat segera akan datang dan akan diwujudkan dalam generasi saat itu. Pasal 9:47 menerangkan tentang berbagai macam penolakkan, dan kepentingan memasuki Kerajaan Allah dengan berbagai tuntutannya. Memasuki Kerajaan Allah disamakan dengan memasuki kehidupan (9:43-44). Pasal 10:14 Yesus mengatakan bahwa anak-anak kecil adalah yang empunya Kerajaan Allah. Dengan kata lain, untuk memasuki Kerajaan Allah diperlukan iman seperti anak kecil (10:15). Mengasihi semua yang dimiliki merupakan hambatan memasuki Kerajaan Allah yang menuntut adanya pengorbanan segala sesuatu (10:23-25).

Di dalam Perjamuan terakhir (14:25), konsep tentang Kerajaan Allah bersifat Eskatologis. Caragounis mengatakan bahwa di dalam pengertian orang Yahudi, gambaran tentang Yesus, bahwa Ia akan menderita bagi milik kepunyaan-Nya. Di dalam bagian terakhir Injil ini dikisahkan tentang Yusuf dari Arimathea yang menanti kedatangan Kerajaan Allah di dalam pengertian penantian pengharapan Israel akan kedatangan Mesias yang akan memerintah di dalamnya.

3. Injil Lukas
Berita tentang Kerajaan Allah pertama kali muncul di dalam pasal 1:33, yaitu pada saat berita yang disampaikan malaikat kepada Maria bahwa Anak yang sedang dikandungnya pada saatnya akan menduduki takhta Daud dan Ia akan memerintah untuk selamanya sebagai Mesias. Selanjutnya konsep tentang Kerajaan ini dihubungkan dengan pelayanan Tuhan Yesus (4:43), yaitu pada saat Ia menyatakan bahwa Ia harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Ia diutus. Hal yang sama juga dicatat oleh Lukas di dalam pasal 8:1.

Catatan tentang Khotbah di Bukit tentang Kerajaan Allah yang disampaikan oleh Tuhan Yesus juga tidak luput dari perhatian Lukas (6:20). Tuhan Yesus juga berbicara tentang siapakah yang besar di dalam Kerajaan Allah ketika berbicara tentang Yohanes Pembaptis (7:28). Demikian juga tentang misteri Kerajaan Allah yang hanya diberikan kepada para murid dan kepada yang lainnya diberitakan di dalam perumpamaan (8:10).
Hal yang perlu mendapatkan perhatian juga di sini adalah Lukas menghubungkan kematian Anak Manusia dengan kedatangan Kerajaan Allah dan bahkan ada di antara mereka yang ada pada saat itu tidak akan mati sebelum mereka melihat Kerajaan itu (9:27). Hal ini menyatakan konsep kekinian Kerajaan tersebut. Di dalam bagian lain, Yesus memberikan penegasan yang bersifat perintah untuk memberitakan Kerajaan Allah di mana-mana (9:60) dan setiap orang yang menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah itu (9:62). Kedatangan Kerajaan Allah ini digambarkankan di dalam doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada para murid-Nya (11:2).

Perihal Kerajaan Allah ini juga mempengaruhi aspek kehidupan dan harus mendapatkan prioritas utama dan Allah akan menambahkan semua yang diperlukan (12:31). Selain itu Lukas juga memberikan penjelasan bahwa Kerajaan Allah ini tidak berkaitan dengan hal yang bersifat fisik, melainkan pada penerimaan terhadap keadaan dari Kerajaan tersebut. Mereka yang ingin masuk ke dalamnya harus berjuang memasuki pintu yang sempit dari Kerajaan ini (13:23-29).

Lukas juga memberikan perhatian kepada pelayanan Yohanes Pembaptis yang menandai permulaan masa yang membedakan antara hukum Taurat dan para rasul. Ini adalah masa pemberitaan tentang Kerajaan Allah itu (16:16). Hal ini berarti tidak membicarakan Kerajaan Allah ini di dalam pengertian eskatologis, melainkan menyatakan bahwa Kerajaan Allah itu ada di antara mereka (17:21). Kerajaan Allah harus diterima dengan iman seperti seorang anak kecil (18:17). Mereka yang mengandalkan kekayaannya tidak akan dapat memasuki Kerajaan itu (18:24-25 bd: 22-26).

Kerajaan Allah di dalam bentuk masa depan dijanjikan Yesus di dalam peristiwa Perjamuan Terakhir, bahwa Ia tidak akan minum lagi dari pokok anggur sampai Kerajaan Allah telah datang (22:17). Hak-hak mengenai Kerajaan itu ditentukan oleh Yesus sendiri seperti yang diberikan atau ditentukan Bapa kepada-Nya (22:29-30). Konteks pembicaraan di sini bersifat Eskatologis.

Pada akhirnya, ketika Yesus berada di atas salib, salah seorang pencuri yang dihukum bersama-Nya mengatakan agar Yesus mengingat dia pada saat datang kembali sebagai Raja (23:42) dan Yusuf dari Arimathea disebutkan Lukas sebagai orang yang menanti-nantikan kedatangan Kerajaan itu (23:51).

4. Injil Yohanes
Di dalam Injil Yohanes, konsep tentang Kerajaan Allah tidak menjadi perhatian utama dan signifikan. Yohanes lebih banyak membicarakan perihal “Kehidupan Kekal” atau tentang “Kehidupan”. “Kehidupan kekal” dan “Kerajaan Allah” merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab ekuivalensinya dibuktikan dengan digunakannya kedua istilah ini saling bergantian di dalam Injil-injil Sinoptik.[27] Selain itu penggunaan istilah “Kerajaan Allah” juga di hindari oleh Yohanes nampaknya oleh karena ia menghindari kaitan istilah ini dengan pengharapan eskatologis dan juga oleh karena tujuan penulisan Injilnya ini adalah bagi pembaca non-Yahudi.

Meskipun demikian, tidak berarti istilah ini tidak muncul di dalamnya. Konsep ini muncul pada percakapan Tuhan Yesus dengan Nikodemus di dalam pasal 3 walaupun dengan penekanan kepada perihal kelahiran kembali lebih daripada kepada Kerajaan Allah. Kelahiran kembali menjadi syarat yang utama memasuki Kerajaan Allah. Istilah ini juga muncul di dalam percakapan Tuhan Yesus dengan Pilatus di dalam pasal 18, yaitu pada saat Pilatus bertanya kepada-Nya, “Apakah Engkau Raja orang Israel?” (18:33). Jawaban Yesus, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” lebih kepada usaha menunjukkan konsep “Kerajaan” yang diajarkan-Nya hanya mempunyai arti yang kecil saja dalam hubungannya dengan pengharapan orang Yahudi. Peristiwa penolakan, penghukuman terhadap Tuhan Yesus pada akhirnya menunjukkan kekecewaan orang Yahudi oleh karena penolakan Tuhan Yesus untuk menerima konsep tentang Mesias yang dimengerti mereka secara nasional dan politik yang mereka pahami dan harapkan terwujud selama ini.



KESIMPULAN

Di dalam pengajaran-Nya, Tuhan Yesus mengubah dan menjelaskan konsep tentang “Kerajaan Allah” ini sebagaimana yang dipahami orang Yahudi berdasarkan pengertian mereka dari Perjanjian Lama, bahwa Kerajaan Allah ini berhubungan dengan pengharapan mereka akan kedatangan Mesias yang akan menegakkan Kerajaan-Nya di dalam dunia ini. Mesias ini akan menjadi Raja dan memerintah atas mereka dan atas seluruh bangsa di dunia.

Yesus memang menggunakan dasar Perjanjian Lama ini untuk mengajarkan tentang Kerajaan Allah tersebut; bahwa Kerajaan Allah memang memiliki aspek fisik yang penggenapannya pada akhir jaman kelak, namun yang menjadi inti pemberitaan-Nya lebih kepada pemerintahan Allah, di mana di dalamnya  Allah menjadi raja secara spiritual di dalam diri setiap orang yang percaya. Dengan kata lain pemberitaan dan pengajaran Tuhan Yesus tentang hal ini lebih kepada perihal kebenaran, keadilan, kebahagiaan, kebebasan dari dosa dan pemulihan hubungan seseorang dengan Allah daripada pengharapan yang bersifat nasionalistik dan universal sebagaimana yang dipahami orang Yahudi selama ini.

Gereja pada saat ini memiliki mandat memberitakan “Kerajaan Allah” di dalam kehidupannya dengan pengertian sebagaimana yang dimaksud dan dijelaskan oleh Tuhan Yesus, yaitu berkenaan dengan “Kehidupan kekal” dan “Keselamatan”. Inti utama ini yang harus dipertahankan walaupun di dalam pemberitaannya mempertimbangkan aspek dinamika perkembangan jaman (baca: “Kontekstualisasi”).



KEPUSTAKAAN

Berkhof, Louis. Sistematika Teologia, Doktrin Gereja. Jakarta: LRII, 1997.
Boice, James M. Perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus. Surabaya: Yakin
Caragounis, C.C. The Kingdom of God” Dictionary of Jesus and the Gospel, Ed. Joel B. Green, Scott McKnight, I Howard Marshal. Intervarsity Press.
Erickson, Millard J. Christian Theology. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1985.
Gaebelein, Arno C. The Gospel of Matthew: An Exposition. New York: Loizeaux, 1910.
Geldenhuys, Norval, NICNT, The Gospel of Luke, Grand Rapids, M.I.: Eerdmans, 1993.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru, Jilid 2. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992.
Ladd, George Eldon, Injil Kerajaan, Malang: Gandum Mas 1994.
McLean, John A. “Did Jesus Correct the Disciples View of the Kingdom?”. Bibliotheca Sacra Vol.151 No.602 (April-June 1994).
Ridderbos, H.N. “Kerajaan Allah” Ensiklopedia Masa Kini,  Jakarta: OMF
Saucy, Robert L. “The Presence of the Kingdom and the Life of the Church”. Bibliotheca Sacra Vol.145 No. 577 (Januari-Maret 1988), hal. 30-46.
Saucy, Mark R. “Miracles and Jesus Proclamation of the Kingdom of God”. Bibliotheca Sacra 153 (July-September 1996) hal.281-307.
Stott, John. Khotbah di Bukit. Jilid I. Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF.
Taylor, William M. The Parables of Our Saviour Expounded and Illustrated. New York: A.C. Armstrong and Son.
Vine,  W.E. The Expanded Vine’s Expository Dictionary of New Testament Words. Minneapolis: Bethany House Pub
______. “Kingdom”, Expository Dictionary of Old and New Testament Words Ed. F.F. Bruce. New Jersey, Fleming H. Revell, Co, 1981.
______.  “Kingdom” Expository Dictionary of Biblical Words Ed. W.E. Vine, Merril F. Unger, William White Jr. Nashville: Thomas Nelson Pub, 1985.
Walvoord, John F.  “The New Testament Doctrine of the Kingdom”, Part 3 of Interpreting Prophecy Today. Bibliotheca Sacra 139 (July-September 1982), p.205-215.
Walvoord, John F. “The Old Testament Doctrine of the Kingdom”, Part 2 of Interpreting Prophecy Today. Bibliotheca Sacra 139 (April-July 1982), p.111-128.
Zorn, Raymond O. Church and Kingdom. Philadephia: Presbyterian & Reformed Pub, 1962.

 

     [1] Millard J. Erickson, Christian Theology (Grand Rapids, M.I.: Baker Book, 1985), hal. 1156.
     [2] Istilah “Basileia”, Basileia di dalam bentuk yang abstrak menunjukkan konsep tentang kedaulatan, kekuasaan raja, dominasi (Why 17:18) dan secara kongkrit menunjuk kepada daerah kekuasaan atau orang-orang yang berada di bawah kekuasaan raja tertentu (Mat 4:8; Mrk 3:24). Vine’s, “Kingdom”, Expository Dictionary of Old and New Testament Words Ed. F.F. Bruce (New Jersey, Fleming H. Revell, Co, 1981), hal. 294.
    [3] Di dalam Perjanjian Lama misalnya dalam arti “Pemerintahan raja” yaitu di dalam Ezra 4:5; 8:1, 2Taw 12:1; Dan 8:23; Yer 49:34; 2Taw 11:17; 12:1; Neh 12:22, dsb.
    [4] George Eldon Ladd, Injil Kerajaan (Malang: Gandum Mas, 1994) hal. 21. Lihat juga: Raymond O. Zorn, Church and Kingdom (Presbyterian & Reformed Pub, 1962) hal. 1.
     [5] Vine’s “Kingdom” Expository Dictionary of Biblical Words Ed. W.E. Vine, Merril F. Unger, William White Jr. (Nashville: Thomas Nelson Pub, 1985), hal. 129.
     [6] George Eldon Ladd, Ibid, hal.2
      [7] H.R, “Raja, Kerajaan Allah, Kerajaan Sorga”, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1995), hal. 294.
      [8] Louis Berkhof, Sistimatika Teologia, Doktrin Gereja (Jakarta: LRII, 1997) hal. 32.
      [9] Pada masa bapak-bapak gereja konsep Kerajaan Allah ini dimengerti sebagai kebaikan terbesar yang bersifat masa mendatang yaitu berkenaan dengan tujuan dari perkembangan gereja. Ada pula yang menganggap konsep ini sebagai pemerintahan milenial dari Mesias pada masa akan datang. Sementara itu Gereja Roma Katolik menghubungkannya dengan institusi hirarkhis. Para Reformator berusaha mengembalikan pandangan ini dengan mengatakan bahwa sebenarnya Kerajaan Allah itu sama dengan gereja yang tidak nampak. Lihat: Louis Berkhof, Sistimatika Teologia, hal.33.
     [10] Misalnya di dalam Mazmur 103:19; 145:11-13 Bd: 1Tawarikh 29:11; Mazmur 22:28; Daniel 4:3; Obaja 21.
     [11] J. Dwight Pantecots, Things to Come (Grand Rapids: Zondervan, 1958) hal.427-445.
     [12] Problematika yang timbul di dalam pembagian di sini terletak pada masa para nabi. Pada umumnya bentuk pemeritahan teokratis berawal dari Saul kemudian Daud, Salomo dan yang lainnya. Selain itu pertanyaan lain adalah apakah bentuk Kerajaan ini bersifat teokratis, politik dan berada di bumi ini? Dapat dikatakan inilah yang menjadi ketegangan di dalam penafsiran eskatologi antara pandangan Premilenium dan Amilenium. John F. Walvoord, “The Kingdom of God in the Old Testament”. Bibliotheca Sacra 139 (April-June 1982),  hal.111-112.
     [13] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, Jilid 2, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992), hal.24.
     [14] C.C. Caragounis, “Kingdom of God/Heaven”. Dictionary of Jesus and the Gospel, (Downers Grove: Intervarsity Press, 1992), hal.420.
     [15] Hal ini akan dibahas secara khusus di bawah, “Kerajaan Allah” di dalam Kitab-kitab Injil.
     [16] C.C. Caragounis, Ibid, hal 424.
     [17] John Stott mengatakan bahwa Khotbah di Bukit ini merupakan intisari pengajaran Tuhan Yesus. Setiap orang Kristen dibuatnya tertarik kepada kebaikan, menjadi malu karena membayangkan betapa kumuh dan tidak memadai penampilan mereka dan memimpikan tentang suatu dunia yang lebih baik. Khotbah ini adalah lukisan yang diberikan-Nya tentang semua hal yang harus dilakukan setiap orang Kristen dan yang harus menjadi kenyataan di dalam kehidupan dan keberadaan mereka. John Stott, Khotbah di Bukit (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih), hal. 11 dan 13.
     [18] Penegasan ini timbul oleh karena adanya penafsiran yang mengatakan bahwa Khotbah di Bukit ini merupakan pesan kekristenan terhadap dunia kafir; merupakan “kabar baik” bagi setiap orang supaya dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. R.H. Mounce, “Khotbah di Bukit”, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF), hal. 555.
      [19] Hal mujizat dan natur dari Kerajaan Allah sangat dekat sekali. Marc R. Saucy mengatakan bahwa demonstrasi pekerjaan Yesus yang bersifat mujizat ini tidak dapat dilepaskan dari proklamasi-Nya tentang Kerajaan Allah itu sendiri. Itulah sebabnya, sama seperti cerita tentang perumpamaan, mujizat mempunyai peran yang bersifat revelasi di dalam pelayanan Tuhan Yesus dan gereja mula-mula. Marc R. Saucy, “Miracles and Jesus Proclamation of the Kingdom of God”, Bibliotheca Sacra 153 (July-September 1996), hal. 285.
     [20] Istilah “entos” ini adalah kata keterangan (adverb) yang menunjukkan ‘di dalam’ atau ‘di antara’. Terjemahan lain: “in the midst of”; Kerajaan Allah tida ada di dalam hati para Farisi. Lihat: W.E. Vine, The Expanded Vine’s Expository Dictionary of New Testament Words (Minneapolis: Bethany House Pub), hal.593 dan 1236. Penggabungan dengan arti tersebut dengan dasar apakah memang “estin” itu dimengerti, baik oleh para Farisi maupun mereka yang ‘mengikuti’ Yesus mempunyai signifikansi masa depan, Kerajaan Allah akan tiba-tiba berada di antara kamu. Penggunaan kata yang berarti “ada di antara kamu” muncul banyak kali di dalam tulisan Lukas, baik di dalam Injilnya maupun Kisah Para Rasul, namun ekspresi yang dipakainya adalah “en (toi) meso hymon” dan tidak pernah menggunakan “entos”. Jadi di dalam ayat ini, ia menggunakan istilah tersebut dengan tujuan mengkontraskan dengan konsep apokaliptik orang Yahudi tentang kedatangan Kerajaan Allah. C.C. Caragounis, ibid, hal. 423.
     [21] Norval Geldenhuys, NICNT, The Gospel of Luke (Grand Rapids, M.I.: Eerdmans, 1993), hal. 440.
     [22] Paulus menjelaskan orang semacam ini di dalam Roma 1:18-20, yaitu mereka yang menindas kebenaran tentang Allah yang dapat diketahui dari ciptaan-Nya dan akibatnya jatuh di dalam kebodohan rohani dan kebejatan moral (ay.21-31), dan lambat laun tidak saja melakukan dosa melainkan setuju terhadap perbuatan dosa dengan mereka yang melakukannya (ay.32). Dosa menyebabkan orang menolak Allah dan kebenarannya dan akan membawanya kepada dosa yang lebih besar lagi. Penolakkan ini disebabkan oleh perlawanan yang disengaja terhadap sifat Allah sendiri yang oleh Paulus disebut sebagai “kefasikan dan kelaliman” (Rm 1:18).
     [23] James M. Boice, Perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus (Surabaya: Yakin), hal. 22
     [24] William M. Taylor memberikan catatan terhadap perumpamaan ini dengan mengatakan bahwa suatu hasil besar dari permulaan kecil, suatu pertumbuhan besar dari benih kecil. Itulah pokok perumpamaan ini, dan tentang hal itu Tuhan menyatakan bahwa Kerajaan sorga di bumi adalah sebuah contohnya. William M. Taylor, The Parables of Our Saviour Expounded and Illustrated (New York: A.C. Armstrong and Son) hal. 55, 60-61.
    [25] Arno C. Gaebelein, The Gospel of Matthew: An Exposition (New York: Loizeaux, 1910), hal. 292.
    [26] Paulus juga memberikan pengertian yang sama ketika ia menguraikan penyimpangan kebenaran Injil sebagai rayuan Iblis, sambil menambahkan bahwa orang-orang percaya mesti waspada karena “sedikit ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan” (Gal 5:9 bd: 1Kor 5:6).
     [27] Misalnya Matius 10:17-30; 25: 31-46; Mrk 9:43-47