Kamis, 29 November 2018

These photos was taken as a memory before I left Batam for another ministry in November 2018. Togetherness with my daughter.










Selasa, 27 November 2018

EKSPOSISI 1 KORINTUS 6:12-14

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 6:12-14



1 Korintus 6:12-20 membahas tentang suatu topik yang baru, yaitu perzinahan dengan pelacur (6:16). Pembacaan yang teliti menunjukkan bahwa kesalahan jemaat Korintus bukan hanya terletak pada tindakan perzinahan tersebut, tetapi juga pada konsep theologis yang salah yang mendorong mereka melakukan hal itu. Mereka menganggap bahwa tindakan itu bukanlah suatu hal yang mempengaruhi kerohanian. Anggapan seperti ini bersumber dari konsep mereka tentang kebebasan Kristiani (6:12) dan tubuh (6:13-14) yang salah. Sama seperti kasus percabulan dengan ibu istri yang justru dibanggakan oleh mereka (5:1-2), kasus perzinahan dengan pelacur pun tidak membuat mereka malu. Mereka bahkan memiliki berbagai macam alasan untuk membenarkan tindakan ini.

Terhadap persoalan ini Paulus mula-mula mengoreksi konsep telogis mereka yang salah tentang kebebasan Kristiani dan tubuh (6:12-14). Menurut Paulus, kebebasan di dalam Kristus tidak berarti perijinan atau hak untuk melakukan segala sesuatu yang kita kehendaki. Kebebasan ini harus memperhatikan dua hal: apakah orang lain mendapat keuntungan atau dibangun melalui tindakan kita (6:12a)? apakah kebebasan itu justru memperbudak kita (ay. 12b)? Selanjutnya Paulus memberikan argumen yang mendukung pandangannya (6:15-20). Ada tiga argumen yang masing-masing dimulai dengan pertanyaan retoris “tidak tahukah kamu” (bdk. 6:15, 16, 19). Di ayat 15 dia menegaskan bahwa tubuh kita adalah anggota Kristus yang tidak boleh diserahkan kepada percabulan. Di ayat 16-18 dia mengajarkan bahwa orang percaya sudah diikatkan dengan Kristus secara rohani, sehingga mereka tidak boleh mengikatkan diri dengan pelacur. Terakhir, di ayat 19-20 Paulus mengingatkan bahwa tubuh mereka adalah bait Roh Kudus, sehingga tidak boleh dicemarkan dengan dosa perzinahan.

Dalam khotbah minggu ini kita tidak akan membahas keseluruhan respons Paulus di 1 Korintus 6:12-20. Kita hanya akan memfokuskan pada koreksi Paulus terhadap kesalahpahaman theologis jemaat Korintus (ay. 12-14). Kita akan belajar bagaimana pandangan Paulus terhadap kebebasan Kristiani (ay. 12) dan tubuh (ay. 13-14).


Kesalahpaham Seputar Kebebasan Kristiani (ay. 12)
Hampir semua penafsir setuju bahwa frase “segala sesuatu adalah halal bagiku” merupakan slogan jemaat Korintus yang dikutip dan ditentang oleh Paulus. Pendapat ini didasarkan pada dua hal: (1) kata sambung “tetapi” yang mengontraskan slogan ini dengan konsep Paulus; (2) di pasal 10:23 Paulus mengutip slogan ini lagi dan memberi jawaban “benar, tetapi...”. Dari cara Paulus meresponi frase ini terlihat bahwa frase ini memang slogan dari jemaat Korintus.

Mereka berpendapat bahwa segala sesuatu adalah halal. Terjemahan LAI:TB “halal” dalam konteks ini sedikit kurang tepat. Kata “halal” memberi kesan bahwa persoalan yang dibahas hanyalah seputar makanan, padahal isu yang dibahas lebih daripada itu. Sesuai bahasa Yunani yang dipakai, kita seharusnya menerjemahkan frase ini dengan “segala sesuatu bagiku diperbolehkan” (exestin). Kata exestin muncul sebanyak 31 kali dalam PB dan selalu memiliki arti “diperbolehkan” (Mat. 12:2, 4, 10, 12; 14:4; 19:3; 20:15; 22:17). Hampir semua versi Inggris dengan tepat menerjemahkan kata ini dengan “lawful” (ASV/KJV/RSV/NASB) atau “permissible” (NIV).

Konsep tentang boleh atau tidak boleh (baca: kebebasan) merupakan isu yang krusial bagi jemaat Korintus. Paulus berkali-kali menyinggung tentang hal ini. Kadang dia berhati-hati agar pernyataannya tidak disalahmengerti sebagai penolakan terhadap kebebasan mereka (7:35). Di sisi lain dia dengan tegas memperingatkan agar mereka tidak menyalahgunakan kebebasan tersebut tanpa memperhatikan kepentingan orang lain (8:9; 10:23).

Mengapa jemaat Korintus bisa terjebak pada konsep tetang kebebasan Kristiani yang salah sampai-sampai mereka membenarkan perzinahan dengan pelacur? Para penafsir biasanya menduga bahwa mereka telah salah paham (lebih tepatnya menyalahgunakan) ajaran Paulus tentang kebebasan Kristiani. Paulus memang sering kali menegaskan bahwa orang Kristen berada di bawah anugerah dan sudah tidak di bawah Taurat atau berbagai tradisi manusia yang lain (bdk. Rm. 6:14). Penekanan seperti ini sering kali disalahmengerti oleh orang-orang yang mengagungkan kebebasan, seperti yang diakui juga oleh Paulus (Rm. 3:8) maupun Petrus (2Ptr. 3:16). Orang-orang seperti ini telah terjebak pada gaya hidup antinomianisme (berasal dari kata anti = “tidak” dan nomos = “hukum”).

Terhadap kesalahpahaman jemaat ini Paulus memberikan dua jawaban. Pertama, kebebasan harus membawa kegunaan/keuntungan (ay. 12a “tetapi bukan segala sesuatu berguna”). New English Bible (NEB) menerjemahkan “not everything is for my good” seolah-olah kegunaan ini berkaitan dengan diri sendiri. Jika kita menyelidiki pemunculan kata sumpherō dalam surat 1 Korintus, maka kita akan menemukan bahwa kata ini selalu dikaitkan dengan kegunaan bagi orang lain. Dalam pasal 10:23-24 kata sumpherō disejajarkan dengan “membangun” dan hal ini dikaitkan dengan kepentingan orang lain. Di pasal 12:7 kata ini muncul lagi dalam konteks kepentingan bersama.

Dengan demikian Paulus di 6:12a tidak sedang membicarakan keuntungan yang akan diterima oleh orang tersebut, tetapi kepentingan untuk seluruh jemaat. Dia secara tersirat ingin memperingatkan bahwa kebebasan jemaat Korintus tidak membawa keuntungan bagi gereja. Sebaliknya, sama seperti kasus percabulan dengan ibu tiri (5:1), kebebasan ini justru akan mencoreng reputasi gereja. Tindakan ini juga bisa berdampak buruk bagi jemaat yang lain seandainya mereka terpengaruh dan meniru tindakan ini, sama seperti ragi yang mencemari seluruh adonan (5:7-8).

Dari sini terlihat bahwa etika Kristiani bukan hanya masalah boleh atau tidak boleh maupun benar atau tidak benar. Sekalipun yang kita lakukan adalah benar, hal ini tidak berarti bahwa kita boleh melakukan hal itu. Jika apa yang kita lakukan menjadi batu sandungan bagi orang percaya yang lain (8:8-9), maka kita tidak boleh melakukan hal itu. Apalagi dalam kenyataan kita sering kali menganggap benar apa yang sebenarnya salah, sama seperti yang dilakukan oleh jemaat Korintus. Jadi, di 6:12a Paulus sebenarnya belum membahas tentang kesalahan dalam perzinahan dengan pelacur, tetapi dia telah meletakkan salah satu dasar etika Kristiani yang penting: terlepas dari benar atau tidak benar, jika tindakan itu tidak membangun orang lain, maka kita tidak boleh melakukannya!

Jawaban Paulus yang kedua terhadap kesalahpahaman jemaat Korintus tentang kebebasan Kristiani dapat kita lihat di ayat 12b. Dia memperingatkan jemaat agar berhati-hati dengan kebebasan karena kebebasan sering kali justru menjadi perbudakan (ay. 12b “tetapi aku tidak mau diperhamba oleh suatu apa pun”). Kata “diperbudak” (LAI:TB) berasal dari kata exousiasthesomai (dari kata dasar exousiazō yang berarti “menguasai”, bdk. 7:4). Jika dilihat dari kalimat Yunani yang dipakai, maka kita akan menemukan permainan kata antara exestin (“diperbolehkan”) dan exoussiasthesomai (“dikuasai”). Berdasarkan permainan kata ini kita dapat memahami ayat 12b sebagai berikut: “segala sesuatu bagiku diperbolehkan (aku punya kuasa), tetapi aku tidak akan dikuasai oleh suatu apa pun”.

Apa yang disampaikan Paulus di bagian ini merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Kita memang sering kali berpikir bahwa kita bebas melakukan suatu tindakan, tetapi ketika kita tidak bisa tidak melakukan hal itu, maka hal itu sudah menjadi tuan yang merampas kebebasan kita. Kita berpikir bahwa kita bebas dalam melakukan suatu dosa, padahal dosa itu pada akhirnya akan menguasai kita sehingga kita akan terus mengikuti kemauannya. Dengan demikian kebebasan kita telah menjadi perbudakan bagi diri kita sendiri.


Kesalahpahaman Seputar Tubuh (ay. 13-14)
Di ayat 13-14 Paulus mengoreksi kesalahpahaman lain yang dipegang oleh jemaat Korintus, yaitu tentang tubuh. Mereka mengatakan bahwa “perut adalah untuk makan dan makan untuk perut, sedangkan dua-duanya akan dibinasakan oleh Allah” (ay. 13a). Maksudnya, jika semua hal yang berkaitan dengan materi (tubuh kita) akan dibinasakan, maka semua hal itu tidak terlalu penting. Semua itu tidak berpengaruh terhadap kerohanian kita maupun berdampak pada kekekalan. Nah, jika keinginan terhadap makanan dan perut tidak penting, maka dengan demikian keinginan terhadap seks dan tubuh juga tidak penting. Bukankah rasa lapar dan hawa nafsu seksual sama-sama berasal dari keinginan materi dalam diri manusia?

Kesalahpahaman seperti di atas sangat mungkin merupakan hasil penyalahgunaan ajaran Paulus dan perpaduan dengan filsafat Yunani. Paulus memang beberapa kali menegaskan bahwa masalah makanan adalah masalah yang sementara (Kol 2:20-22), tetapi dia tidak pernah melangkah lebih jauh daripada itu. Jemaat Korintus yang cenderung mengagungkan hikmat duniawi (1:18-3:23) mungkin merasa bahwa ajaran Paulus itu selaras dengan filsafat dualisme Yunani yang menganggap materi jahat, tidak penting dan tidak berhubungan dengan kerohanian yang sejati. Mereka berpikir bahwa sebagai orang yang sudah rohani mereka tidak seyogyanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan oleh materi. Petunjuk lain yang mengarah pada dugaan ini adalah munculnya frase “segala sesuatu diperbolehkan” dalam beberapa tulisan filsafat Yunani yang memegang paham dualisme, misalnya Stoa, Cynisisme, Gnostisisme. Walaupun filsafat Gnostisisme tidak relevan bagi jemaat Korintus – filsafat ini baru menjadi -isme pada abad II – namun konsep dualisme Yunani yang melandasi ketiga filsafat ini sudah lama berkembang.

Sekilas cara berpikir jemaat Korintus tampak sangat logis dan menarik. Makanan dan perut memang tidak bernilai kekal. Seks juga berkaitan dengan kebutuhan biologis. Bagaimanapun, Paulus berhasil menunjukkan kesalahan berpikir ini. Pertama, tubuh adalah untuk Tuhan (ay. 13b). Tubuh bukan hanya untuk sesuatu yang sifatnya sementara, misalnya makanan dan seks. Tubuh terutama adalah untuk Tuhan. Sebagai orang Kristen yang sudah ditebus, kita tidak boleh membiarkan dosa menguasai tubuh kita dan sebaliknya kita harus menggunakan tubuh ini untuk melayani Allah (Rm. 6:12-13). Kita wajib mempersembahkan tubuh sebagai kurban yang kudus, hidup dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Tubuh kita yang material ini memang akan binasa pada saat kita dikubur, namun sebelum hal itu terjadi kita harus menggunakannya untuk melayani Tuhan. Hal ini berbeda dengan konsep berpikir jemaat Korintus. Mereka menganggap bahwa karena tubuh ini akan binasa maka sekarang ini kita tidak perlu menjaganya. Sebaliknya, Paulus menekankan bahwa karena dibinasakannya baru nanti maka sekarang harus dipakai untuk kebenaran.

Kedua, Tuhan adalah untuk tubuh (ay. 13c-14). Apa maksud dari ungkapan ini? Berdasarkan konteks yang ada, maka ungkapan ini pasti berhubungan dengan kebangkitan (ay. 14) dan penebusan (ay. 20). Kristus bukan hanya menebus roh atau jiwa kita, tetapi Dia juga menebus tubuh kita. Bahkan kebangkitan Kristus juga menjadi jaminan bahwa tubuh kita pun akan dibangkitkan di akhir jaman (15:20-23; bdk. Rm. 8:11; Kol. 1:18). Allah yang membangkitkan Tuhan Yesus juga akan membangkitkan tubuh kita kelak (6:14). Poin tentang kebangkitan tubuh ini selanjutnya akan dibahas Paulus secara panjang lebar (15:51-54) ketika dia menegur sebagian jemaat yang tidak mempercayai kebangkitan orang mati (15:12).

Ungkapan “Allah yang membangkitkan Tuhan...” di ayat 14 tidak boleh dipahami bahwa Kristus tidak berkuasa untuk membangkitkan diri-Nya sendiri. Alkitab kadangkala memang menyatakan bahwa subjek kebangkitan adalah Allah, tetapi Alkitab juga mengajarkan bahwa subjek tersebut adalah Roh Allah (Rm. 1:4; 8:11) atau Kristus sendiri (Yoh. 2:19, 21; 10:18). Jadi, kebangkitan adalah pekerjaan satu Allah, Allah Tritunggal.

Nah, jikalau Allah dan Kristus sangat menghargai tubuh kita – yang dibuktikan dengan penebusan dan jaminan kebangkitan – maka kita pun seharusnya menghormati tubuh kita. Kita harus menjaganya dari semua dosa, terutama dari dosa-dosa yang langsung bersentuhan dengan tubuh kita, misalnya percabulan dengan pelacur (bdk. 6:18 “orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri”). Orang Kristen yang masih terjebak pada percabulan adalah orang-orang yang tidak menghargai tubuhnya sebagaimana Tuhan menghargai hal itu. Kalau Tuhan sudah melakukan segala sesuatu untuk tubuh kita (6:13c), berlebihankah jika Ia menuntut kita memberikan tubuh kita untuk Dia (6:13b)? #

Selasa, 06 November 2018

EKSPOSISI 1 KORINTUS 7:1-2

oleh: Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M.



Nats: 1 Korintus 7:1-2



Bagian ini membahas suatu topik yang baru. Hal ini ditunjukkan melalui penggunaan frase “sekarang tentang...” (7:1) yang selanjutnya akan dipakai berkali-kali untuk memperkenalkan suatu topik yang baru (7:25; 8:1, 4; 12:1; 16:1). Walaupun bagian ini membahas topik yang baru, tetapi bukan berarti tidak memiliki kaitan apa pun dengan bagian sebelumnya (6:12-20). Dua bagian ini sama-sama berbicara tentang bahaya percabulan (6:15-16, 18; 7:2). Keduanya juga menyinggung tentang kesatuan daging antara laki-laki dan perempuan (6:16; 7:4).

Jika memang pasal 7:1-24 membahas tentang topik yang baru, permasalahan apakah yang ditangani Paulus di bagian ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini tergantung pada cara kita menafsirkan ayat 1b “adalah bagi laki-laki jika ia tidak kawin.” Apakah bagian ini merupakan kalimat Paulus atau dia sekadar mengutip pernyataan jemaat Korintus? Saya sendiri memilih alternatif yang terakhir (lihat pembahasan detail di ayat 1b). Jika ini diterima, maka kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan yang sedang dibicarakan adalah konsep jemaat Korintus yang anti terhadap hubungan seksual atau perkawinan. Mereka melarang suami-istri untuk melakukan hubungan seksual (7:2-5), memaksa orang untuk tidak menikah (7:6-9, 36-40), memerintahkan orang Kristen untuk menceraikan pasangannya yang tidak beriman (7:10-16).

Menghadapi masalah di ayat 1b, Paulus menjelaskan bahwa jika mereka sudah menikah maka mereka tidak boleh saling menjauhkan diri (ay. 2-5). Jika mereka belum menikah, maka mereka bisa menjalani hidup selibat (tidak menikah) jika Tuhan memberi karunia itu (ay. 6-8) atau mereka tidak dapat menguasai nafsu (ay. 9). Jika mereka sudah menikah dan pasangannya belum mengenal Tuhan, maka pihak orang Kristen tidak boleh menceraikan pasangannya (ay. 10-16). Sebagai konklusi, semua orang sebaiknya bertahan dalam keadaannya sekarang, bahkan untuk hal-hal yang di luar konteks perkawinan (ay. 17-24). Mereka tidak perlu mengubah status sosial mereka, apabila dengan motivasi yang salah.


Persoalan: Konsep yang Salah tentang Seksualitas (ay. 1)
Paulus menyebut hal-hal yang akan dia bahas mulai pasal 7:1 sebagai hal-hal yang jemaat Korintus tuliskan kepadanya. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa isu-isu yang dibahas sebelumnya (pasal 1-6) merupakan hal-hal yang didengar oleh Paulus (bdk. 1:11; 5:1). Walaupun kita tidak boleh secara mutlak menganggap semua isu setelah pasal 7 sebagai
berita tertulis (bdk. 11:18 “aku mendengar...”), namun sebagian besar di antaranya memang seperti itu (bdk. bentuk jamak “hal-hal yang kamu tuliskan...”; bdk. 7:25; 8:1, 4; 12:1; 16:1). Semua ini menunjukkan bahwa Paulus tetap dianggap sebagai bapa rohani mereka (bdk. 4:15), sekalipun sebagian dari mereka tidak menyukai Paulus (1:12; 4:1-5; 9:3). Hal ini sekaligus membuktikan kepedulian Paulus terhadap keadaan jemaat, walaupun ia sudah berpisah dari mereka (5:3) dan tidak didukung secara layak pada saat ia melayani mereka (9:12-18; 2Kor 11:7-9).

Para penafsir berbeda pendapat tentang ayat 1b. Sebagian meyakini bahwa bagian tersebut merupakan kalimat Paulus sendiri, sedangkan yang lain menganggap bagian itu sebagai dua pilihan ini, yang terakhir tampaknya lebih bisa diterima. Ada banyak argumen yang mendukung pendapat ini: (1) dalam surat 1 Korintus Paulus sering mengutip kalimat jemaat lalu memberikan tanggapannya terhadap hal itu (bdk. 6:12-13; 8:1, 4; 10:23); (2) Paulus memiliki konsep yang positif terhadap seksualitas (7:2-5) maupun pernikahan (7:36, 38; bdk. Ef 5:22-33), sehingga sangat janggal jika dia memiliki konsep seperti di ayat 1b; (3) bagi Paulus kehidupan selibat (tidak menikah) tidak boleh dipaksakan pada semua orang, karena hal itu adalah karunia dari Allah (7:7); (4) dalam tradisi Yahudi diajarkan keagungan pernikahan (bdk. Kej. 2:18), walaupun ada sebagian tokoh memilih selibasi. Sulit dipahami jika Paulus berani berkontradiksi dengan ajaran Alkitab yang mengajarkan “tidak baik laki-laki eorang diri saja”; (5) secara umum Paulus sangat menetang gaya hidup asketisisme, yaitu gaya hidup menjauhkan diri secara ekstrem dari semua hal yang berkaitan dengan tubuh supaya memperoleh kehidupan rohani yang lebih tinggi (Kol. 2:20-22; 1Tim. 4:3).

Di 1 Korintus 7 Paulus memang memberi indikasi bahwa tidak menikah itu lebih baik (7:6, 38), tetapi ia tidak pernah menganggap bahwa perkawinan sebagai sesuatu yang tidak baik. Jika ayat 1b berasal dari Paulus, maka ia kemungkinan besar akan menambahkan kata “lebih”, sehingga peredaksiannya menjadi “adalah lebih baik bagi laki-laki kalau ia tidak kawin.” Karena ayat 1b menyiratkan sikap yang negatif terhadap perkawinan, maka dapat dipastikan bahwa hal itu bukan berasal dari Paulus.

Mengapa jemaat Korintus bisa memiliki sikap yang negatif terhadap seks atau perkawinan? Sebagian besar penafsir meyakini bahwa mereka telah terjebak pada konsep spiritualitas yang salah. Sebagai jemaat yang dipenuhi dengan berbagai karunia Roh (1:5) – bahkan hal ini menjadi sumber peselisihan di antara mereka (pasal 12-14) – jemaat Korintus merasa diri sudah berada pada tingkat kerohanian yang sangat tinggi. Mereka meyakini bahwa pada tahap seperti ini semua keinginan jasmani atau material tidak memiliki pengaruh apa pun bagi mereka, baik pengaruh positif maupun negatif. Kalau di 6:12-20 mereka berzinah dengan pemahaman bahwa hal itu tidak akan membawa pengaruh negatif bagi kerohanian mereka, di 7:1-24 mereka justru menjauhi semua bentuk keinginan tubuh (seks). Orang yang mampu menjauhkan diri dari semua hal ini dianggap memiliki tingkat kerohanian yang tinggi. Berdasarkan kesalahan konsep ini, Paulus di akhir pembahasannya menegaskan bahwa ia pun memiliki Roh Allah (7:40). Penegasan seperti ini tentu saja tidak diperlukan apabila persoalan jemaat Korintus tidak berkaitan dengan topik seputar Roh Kudus atau kerohanian yang sifatnya mistis.

Jika ayat 1b merupakan slogan dari jemaat Korintus, maka kata “baik” (kalos) di ayat itu harus dipahami menurut perspektif mereka. “Baik” di sini lebih dipandang secara moral atau spiritual. Paulus di bagian selanjutnya nanti akan mengoreksi konsep “baik” tersebut. Bagi Paulus, tidak menikah memang baik, tetapi kebaikan itu berkaitan dengan efektivitas pelayanan. Mereka yang diberi karunia selibat (7:7) bisa memfokuskan diri pada urusan Tuhan (7:32-34). Pada dirinya sendiri selibasi tidak lebih baik daripada menikah. Orang yang selibat tidak lebih rohani atau bermoral daripada yang menikah.

Sebutan “laki-laki” (LAI:TB) di ayat 1b didasarkan pada jenis kelamin maskulin dari kata Yunani anthrōpos yang dipakai. Secara hurufiah kata anthrōpos sebenarnya memiliki arti yang umum (“manusia”), bisa merujuk pada laki-laki maupun perempuan. Kata yang lebih spesifik untuk laki-laki adalah anhr (7:2, 3, 4, 10, 11, 13, 14, 16, 34, 39). Penggunaan kata anthrōpos mungkin menyiratkan bahwa jemaat Korintus mengaplikasikan prinsip di ayat 1b kepada semua orang, bukan hanya terbatas pada laki-laki. Tidak heran, Paulus pun meresponi persoalan ini dari dua sisi: laki-laki maupun perempuan (7:2-3, 25).

Kita perlu membahas tentang ungkapan “kawin” di bagian akhir ayat 1b. Dalam kalimat Yunani, ungkapan yang dipakai adalah “tidak menyentuh wanita” (haptō gunaikos). Mayoritas versi memilih untuk mempertahankan terjemahan hurufiah ini (ASV/KJV/RSV/NASB), sedangkan yang lain berusaha memperjelas artinya dengan kata “menikah” (NIV). Baik jemaat Korintus maupun Paulus pasti tidak memaksudkan ungkapan ini secara hurufiah. Ungkapan “menyentuh wanita” dalam literatur kuno – baik Alkitab maupun di luar Alkitab – muncul sebanyak 9 kali dengan arti “bersetubuh dengan wanita” (bdk. Kej. 20:6(LXX); Ams. 6:29(LXX)). Dalam hal ini Amsal 6:29 lebih jelas karena “menghampiri (wanita)” disejajarkan dengan “menyentuh (wanita).” Makna seperti ini juga didukung oleh konteks 1 Korintus 7. Isu yang dibahas bukan hanya sekadar tentang pernikahan, tetapi juga hubungan seksual (7:3-5). Di samping itu, jika yang dimaksud oleh jemaat Korintus adalah “menikah”, maka mereka pasti akan memakai kata gamew (7:9, 28, 36, 39), bukan haptō.


Jawaban Paulus: Setiap Orang Hendaknya Memiliki Pasangannya Sendiri (ay. 2)
Kata sambung “tetapi” di awal ayat 2 mengindikasikan kontras antara pandangan jemaat Korintus (ay. 1b) dan Paulus. Di ayat ini Paulus lebih menyoroti tentang bahaya percabulan (ay. 2a). Di ayat 3-5 nanti dia akan lebih banyak memberikan alasan theologis bagi nasehatnya di ayat 2b. Jadi, nasihat Paulus di ayat 2b didasarkan pada dua pertimbangan: bahaya percabulan (ay. 2a) dan kesatuan suami-istri (ay. 3-5).

Peringatan ini harus dilihat dari dua sisi: situasi kota Korintus dan kelemahan jemaat Korintus. Kota Korintus memang terkenal sebagai kota percabulan, bahkan kata korinqiazw sering kali dipakai dalam arti “berbuat zinah.” Percabulan yang sudah dibahas di 5:1-13 dan 6:12-20 cukup sebagai bukti betapa berbahayanya situasi di Korintus. Bentuk jamak “percabulan” (tas porneias) yang dipakai di 7:2a menyiratkan berbagai kemungkinan yang berpotensi menjatuhkan jemaat Korintus.

Di sisi lain kita juga tidak boleh melupakan faktor internal manusia. Kita lemah dalam hal godaan seksual. Paulus pun beberapa kali mengingatkan jemaat Korintus tentang hal ini dengan kalimat “kamu tidak tahan bertarak” (7:5) atau “tidak dapat menguasai diri” (7:9). Kisah kejatuhan Yehuda (Kej. 38), Simson (Hak. 14-16) dan Daud (2Sam. 11-12) sudah cukup sebagai peringatan bagaimana berbahayanya godaan seksual.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Paulus memberikan nasihat agar setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri, begitu pula dengan setiap perempuan (ay. 2b). Sekilas nasihat ini tampak mengajarkan sebuah pandangan yang rendah terhadap lembaga pernikahan. Pernikahan hanya dilihat sebagai solusi bagi godaan seksual yang berbahaya. Kesan ini memang tidak terelakkan, karena ungkapan “mempunyai suami/istri” memberi kesan “menikah.” Tidak heran sebagian orang memandang ayat 2b sebagai nasihat kepada mereka yang belum menikah agar segera menikah daripada jatuh ke dalam percabulan. Dengan demikian Paulus terkesan kurang menempatkan keagungan pernikahan pada tempatnya.

Jika kita menyelidiki ayat ini secara lebih teliti, maka kita akan menemukan bahwa nasihat tersebut ditujukan pada mereka yang sudah menikah dan nasihat ini lebih mengarah pada hubungan seks, bukan pernikahan secara status. Pertama, ungkapan “mempunyai suami atau istri” (echō gunaika/andra). Ungkapan ini tidak dapat diartikan “menikah.” Jika Paulus memaksudkan “menikah”, maka ia mungkin akan menggunakan ungkapan “lambanō gunaika/andra (Tobit 4:12), bukan echō gunaika/andra. Ia juga bisa memakai kata yang lebih jelas yang nanti akan dia pakai di bagian selanjutnya, yaitu gameō (terutama 7:9 “biarlah ia kawin”). Berdasarkan pemunculan ungkapan echō gunaika dalam LXX, kita dapat mengetahui bahwa ungkapan ini memiliki arti “berhubungan seksual” (Kel. 2:1; Ul. 28:30; Yes. 13:16).

Kedua, konteks 1 Korintus 7:2-5. Bagian ini secara eksplisit membicarakan tentang hubungan seksual dalam sebuah pernikahan. Di samping itu, ungkapan “menyentuh wanita” di ayat 1b yang mengarah pada makna “hubungan seksual” juga turut menguatkan ide bahwa Paulus memang sedang membicarakan hubungan seksual. Jadi, Paulus tidak sedang membicarakan tentang pria dan wanita yang belum menikah.

Ketiga, kata “sendiri” (heautou/idion) Penambahan kata “sendiri” setelah kata “istri/suami” merupakan indikasi yang penting. Jika “mempunyai istri/suami” dipahami dalam arti “menikah”, maka kalimat di ayat 2b menjadi tidak masuk akal. Mengapa Paulus perlu menasehati orang untuk menikahi (mempunyai) istri/suaminya sendiri? Penambahan kata “sendiri”di sini akan menjadi lebih bermakna apabila “mempunyai istri/suami” ditafsirkan sebagai “berhubungan seksual.” Jadi, di bagian ini Paulus memberikan nasihat agar jemaat Korintus berhubungan seks dengan pasangannya masing-masing. Jika mereka melupakan hal ini, maka bahaya percabulan siap menghadang mereka. Menjauhkan diri dari pasangan (bdk. 7:5) bukanlah ide yang bijaksana jiak dilihat dari potensi kejatuhan yang akan terjadi.

Terakhir, kata “setiap” (hekastos/hekastē). Jika “mempunyai istri/suami” di ayat 2b dipahami dalam arti “menikah”, maka nasihat di ayat 2b “hendaklah setiap laki-laki/wanita menikah” akan berkontradiksi dengan ayat lain. Tidak setiap orang harus menikah, karena beberapa orang diberi karunia untuk selibat (7:6-8). Bagi mereka yang belum menikah pun Paulus menganjurkan agar tidak menikah supaya bisa konsentrasi kepada pelayanan (7:28, 32-34). Bagaimanapun, Paulus tetap memberi kebebasan kepada setiap orang untuk menikah atau selibat (7:6, 35).

Semua penjelasan di atas sudah cukup untuk meyakinkan kita bahwa nasihat di ayat 2b bukan ditujukan pada mereka yang belum menikah. Jika ini diterima, maka kesan sekilas bahwa Paulus menganggap rendah lembaga pernikahan akan segera sirna. Walaupun di ayat 9 Paulus tetap memikirkan pernikahan sebagai salah satu solusi bagi godaan seksual, namun kita perlu menggarisbawahi bahwa hal ini bukanlah pilihan yang ideal. Pilihan ini hanya bagi mereka yang tidak memiliki penguasaan diri. Bagi yang dewasa da kuat di dalam Tuhan, pernikahan bukanlah sekadar jalan keluar dari godaan seksual.


Refleksi
Kesalahan yang dilakukan oleh jemaat Korintus di atas ternyata terulang kembali sepanjang sejarah gereja, sekalipun dengan bentuk dan motivasi yang agak berbeda. Pada masa awal tradisi kebiaraan, banyak orang Kristen sengaja menyiksa diri dengan cara membuat diri mereka lapar, haus, menderita, menyendiri dari semua orang, dsb. Hidup selibat menjadi pilihan dan dianggap sebagai salah satu bukti kerohanian.

Di zaman modern ini kita masih bisa melihat sisa-sisa pemikiran yang sama, walaupun bentuknya tidak seekstrim dulu. Keengganan orang Kristen membicarakan seks secara detail sesuai dengan firman Tuhan menyiratkan bahwa seks masih dipandang sebagai sesuatu yang tabu atau – paling tidak – sesuatu yang tidak bersentuhan dengan kerohanian. Khotbah-khotbah di mimbar sangat jarang membahas topik tentang seks. #




Sumber:
Mimbar GKRI Exodus, 8 Februari 2009
http://www.gkri-exodus.org/image-upload/1Korintus%2007%20ayat%2001-02.pdf