CARA HIDUP ANAK TUHAN
Nats:
Filipi 4: 11b-13; 21-24; Roma 8: 37; 2Kor 2:14
|
Ada dua macam orang: Pertama, orang yang ketika
dalam kesusahan, dan kondisi sulit itu tidak berubah menurut pemikirannya
setelah ia berdoa kepada Tuhan, ia merasa Allah tidak mempedulikan dia, karena
itu ia marah dan meninggalkan Tuhan. Kedua, orang yang ketika hidupnya lancar
dipenuhi dengan kesenangan justru terlena dan mengabaikan Tuhan. Dua macam
orang ini saya sebut orang yang dikalahkan oleh kesulitan dan orang yang
dihanyutkan oleh kenikmatan. Ternyata tidak ada jaminan dalam kondisi hidup
fisik yang dapat membuat seseorang tetap setia kepada Tuhan. Karena memang
bukan kondisi luar, tetapi hati (sikap batin) itulah yang menentukan respon
seseorang kepada Tuhan. Allah yang adil memberi situasi yang berbeda kepada
setiap orang. Jika seseorang memiliki hati yang benar kepada Allah, walaupun
dalam penderitaan yang berat ia tetap memuliakan Tuhan, dan ketika berada dalam
kehidupan yang penuh berkat, ia lebih mencintai Tuhan daripada segala
berkat-berkat Tuhan yang siap untuk diambil daripadanya. Tanpa sikap hati yang
benar, dalam situasi apa pun orang yang akan selalu meresponi Allah secara
salah.
Paulus memberikan teladannya yang indah ketika
ia mengungkapkan sikapnya dalam perkataan berikut: “Sebab aku telah belajar
mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu
apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu
yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal
kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala
perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:11b-13). Dalam
mengalami kesulitan, deraan, ancaman, kengerian ia tidak menjadi kecewa, ketika
ia menerima keadaan yang diberkati, kesukaan, kenyamanan, kelimpahan dan
anugerah Tuhan ia tidak menjadi hanyut.
Kesulitan maupun kelancaran merupakan suatu
situasi yang sama-sama beresiko untuk mengikis kesetiaan kita kepada Tuhan.
Dalam perenungan ini, kita akan memfokuskan kepada bagaimana kita dapat menang
atas situasi sulit yang kita hadapi. Saya akan mensharingkan 4 prinsip, yang
diharapkan dapat menolong kita ketika menghadapi situasi hidup yang sulit
dengan sikap yang benar. Dengan pemahaman dan perspektif iman Kristen yang
benar, ia akan dimampukan untuk berespon benar supaya boleh mengalami hidup
berkemenangan bersama Tuhan.
Pertama, sadarilah bahwa kita hidup
dalam suatu drama kosmik yang sangat menentukan. Kebenaran ini terungkap
dalam kitab Ayub. Seluruh kehidupan Ayub, termasuk kehidupan batinnya terbuka
bagi pengamatan dan penilaian Allah, malaikat dan Iblis. Ia ditempatkan di
dalam posisi yang crucial, di mana seakan-akan kehormatan Allah dipertaruhkan
dalam respon Ayub, dan jika dia gagal Iblis mendapat alasan untuk mencemooh
Allah. Namun melalui kehidupan Ayub, Allah mau menunjukkan bahwa ada manusia
yang akan tetap beriman dan mengasihiNya walaupun mengalami kesulitan terberat.
Jikalau ia gagal maka iblis berkesempatan melawan serta mencemooh Tuhan. Tapi,
yang terjadi justru melalui respon Ayub yang penuh kesetiaan kepada Allah itu
ia mempermalukan Iblis. Inilah kehidupan yang mestinya diwujudkan oleh orang
Kristen yang telah menerima anugerah Perjanjian Baru yang melebihi tokoh-tokoh
Perjanjian Lama.
Setiap orang diberi kondisi hidup yang berbeda
oleh Tuhan. Namun seperti dalam film, yang menjadi ukuran bukanlah kenyamanan
peran si aktor, tetapi bagaimana ia memerankannya. Jika dalam film yang menjadi
penilaian adalah kemampuan acting, maka dalam hal rohani yang menjadi penilaian
ialah bagaimana menjalankan perannya dilihat dari sudut moral dan rohani: yang
menjadi ukuran bukanlah apakah kita kaya atau miskin, pintar atau bodoh, sehat
walfaiat atau didera oleh penyakit yang berkepanjangan, panjang umur atau hidup
yang singkat; yang menjadi ukuran ialah apakah dalam
Ada orang yang sepanjang hidupnya tetap miskin
bukan karena malas atau bodoh, sebaliknya ada orang yang dari kecil hingga tua
selalu hidup dalam kelimpahan. Ada yang seumur hidupnya dipenuhi dengan
kesulitan, sebaliknya ada yang jalan hidupnya begitu mulus. Cara berpikir yang
duniawi akan menilai orang yang hidupnya dipenuhi kesusahan itu bernasib buruk
dan gagal, dan orang yang hidupnya enak itu bernasib baik dan sukses. Jika
orang Kristen masih terjebak dalam cara pandang yang duniawi ini, maka
perhatiannya hanya tertuju kepada mengusahakan kenyamanan hidup dan kelepasan
dari kesulitan, dan bukannya pada kualitas hidup yang harus ia wujudkan. Karena
itu, tidak heran, ketika dilanda kesulitan, mereka penuh dengan sungut dan
keluhan kepada Allah (mengkorfirmasikan tuduhan Iblis, yang tentu saja salah),
dan kehilangan fokus untuk dalam situasi hidup mereka untuk semakin memuliakan
Allah. Di tengah-tengah kesulitan hidup yang memuncak, justru Ayub menyatakan
kesaksian hidup yang sulit dilampaui. Di tengah-tengah kehidupan yang hancur
oleh kelumpuhannya, Joni Erickson Tada justru menyatakan suatu kehidupan yang
begitu mulia.
Kedua, bagi anak Allah, keadaan
sulit yang kita alami bukanlah keadaan tak diberkati, sebaliknya mungkin itu
adalah saat yang paling indah dalam hidup kita. Ketika berada dalam kondisi
yang sulit, terjepit, merasa lemah, keadaan yang memaksa kita bergantung penuh
kepada Allah, seringkali kita menganggapnya sebagai bad time (waktu yang buruk), kondisi
buruk yang tidak diberkati. Inilah alasan ketika berada dalam kondisi tersebut
satu-satunya keinginan kita ialah cepat-cepat keluar dari situasi itu, setelah
itu baru kita merasa diberkati. Tetapi dalam pengalaman saya, saya belajar
bahwa saat berada di dalam kelemahan itu adalah saat-saat di mana saya paling
dekat dengan Tuhan, itulah saat yang indah bersama Tuhan. Dan saat saya merasa
kuat, mantap, dewasa, mandiri, mungkin itu adalah saat saya mulai tidak begitu
bergantung lagi kepada Tuhan dan mulai agak liar atau bahkan sangat liar.
Jangan salah mengerti bahwa saya mengajarkan
supaya kita menginginkan kehidupan yang terus dalam kesuraman dan penderitaan,
karena itu bukan maksud Tuhan atas hidup kita. Kekristenan adalah agama yang
positif, yang penuh dengan pujian kemenangan dan sukacita. Karena itu, tidak
salah jika dalam kesulitan, sakit, kesedihan, kita menginginkan Tuhan
memberikan kelepasan, kelimpahan dan sukacita kepada kita. Tetapi apa yang mau
saya tegaskan di sini ialah marilah kita belajar untuk melihat masa suram itu
secara positif dari perspektif Kristen, bahwa jika saya berada dalam situasi
seperti itu di situ pun Allah hadir dan kasih rahmatNya menopang aku, bahkan
lebih penuh kasih mesra.
Ada sesuatu yang unik dalam kehidupan manusia,
seringkali masa-masa sulit yang pernah kita alami dulu, seperti krisis, bahaya,
kesulitan hidup, dsb kita ingat kembali dengan perasaan nostalgia. Demikian
juga, dikatakan mengenai hubungan dalam pernikahan: krisis pernikahan yang
dilalui dengan penuh ketabahan bahkan berguna untuk membangun kasih dan
kepercayaan yang kokoh antara keduanya, suatu hal yang tidak pernah akan
dimengerti dan dialami oleh mereka yang telah menyerah.
Ketiga, dengan memfokuskan pikiran
hanya pada kebahagiaan di masa yang akan datang, kita telah menyia-nyiakan
realitas kehidupan masa kini, yang sebenarnya merupakan sesuatu yang indah dan
sangat berharga. Sayur pare itu pahit, jangan dibuang,
sebaliknya belajarlah untuk menikmatinya, karena itu sayur yang baik/berguna
dan enak. Hidup ini sulit, ini adalah fakta tidak dapat kita tolak. Namun jika
kita menyikapinya dengan benar, maka masa-masa sulit itu dapat menjadi
pengalaman yang indah bersama Tuhan. Andaikan kita diberi umur 40 tahun, dan 20
tahun terisi oleh kesulitan, apakah berarti kita hanya akan memiliki 20 tahun
hidup yang bermakna? Bagi saya, asal kita berjalan bersama Tuhan, maka kita
tetap akan memiliki 40 tahun bermakna yang sangat berharga.
Blaise Pascal mengatakan: kita tidak pernah
[sungguh-sungguh] hidup hanya untuk masa kini .... Kita bersikap tidak
bijaksana dengan mengembara dari satu masa ke masa lain yang sesungguhnya bukan
milik kita. Kita ... mengabaikan apa yang sungguh-sungguh ada. Kita bersikap
demikian karena momen sekarang biasanya adalah sesuatu yang menyakitkan, itulah
sebabnya kita menekannya...
Kita cenderung membebani pikiran kita dengan
masa lalu dan masa yang akan datang, dan jarang memikirkan masa kini.... Kita
menjadikan masa masa lalu dan masa kini sebagai sarana, dan hanya
menjadikan masa yang akan datang sebagai tujuan kita. Dengan cara berpikir
demikian, kita tidak pernah sungguh-sunguh hidup, sebab kita hanya hidup dalam
pengharapan, mengharapkan sesuatu yang belum ada, sedangkan yang ada
dibuang-buang. Dengan selalu merencanakan bagaimana kita dapat menjadi bahagia,
kita tidak pernah berada dalam kebahagiaan itu. (Pensees).
Keempat, dengan memandang masa “sulit”
sekarang sebagai hal yang negatif dan hanya memikirkan kebahagiaan yang belum
tiba maka kita lalai menyambut maksud Tuhan dalam situasi kita itu. Tidak ada pengalaman kita
yang alami yang terjadi di luar kontrol Allah. Dan jika Ia mengizinkan kita
mengalami suatu kesulitan pasti ada maksud baik dari Allah bagi kita.
Kita tahu bahwa: “Allah ... bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yagn terpanggil
sesuai dengn rencana Allah.” (Rm 8:28). Dan jika dalam setiap situasi hidup
kita terdapat maksud Allah yang baik, maka marilah kita menyambut maksudNya
itu.
Saint John of the Cross (Santo Yohanes dari Salib)
mengungkapkan apa yang dinamainya the dark night of the soul (jiwa yang berada dalam
kegelapan malam). Ia mengatakan demikian, “Berada di dalam kegelapan
malam bukanlah sesuatu yang buruk dan destruktif. Sebaliknya ini bagaikan
pengalaman orang sakit yang menyambut ahli bedah yang menjanjikan kesehatan dan
kesembuhan kepadanya. Tujuan dari kegelapan ini tidak dimaksudkan untuk
menyakiti atau menghukum kita tetapi untuk menyembuhkan kita. Inilah kesempatan
yang Tuhan pakai untuk menarik kita lebih dekat kepadaNya.” Inilah pengalaman dan prinsip
rohani yang mendalam untuk menghadapi realita hidup sebagai anak Allah yang
mendapat identitas dan destiny penuh kemuliaan.
Ia melanjutkan, “Dalam saat-saat seperti ini
mungkin kita akan merasa kering, depresi bahkan putus asa. Tetapi ini merupakan
keadaan yang baik karena melucuti setiap ketergantungan kita yang berlebihan
kepada perasaan ataupun kondisi-kondisi fisik di luar. Pandangan yang sering
kita dengar adalah bahwa pengalaman kekelaman ini harus kita hindari sebagai
syarat untuk mengalami kedamaian, penghiburan dan sukacita adalah pikiran yang
salah. Sebab berada di dalam keadaan yang gelap ini adalah salah satu cara yang
Allah pakai untuk memberikan kepada kita keheningan, ketenangan sehingga Ia
dapat melakukan transformasi batin dari dalam kita. Ketika Allah membawa kita
ke dalam keadaan demikian, bersyukurlah, karena Allah dalam kasih sayangNya
yang besar sedang menarik kita keluar dari gangguan supaya kita dapat melihat
Dia secara lebih jelas. Dalam keadaan demikian jangan memberontak atau melawan
tapi belajarlah untuk diam dan menantikan Tuhan.”
Allah mempunyai program yang mulia dalam hidup
kita, membawa kita ke dalam kemuliaan. Ia ingin membentuk kita menjadi baru dan
yang mulia. Dan kesulitan merupakan keadaan yang sangat kondusif untuk
pekerjaan ini. Saat kita sedang hancur, saat ego kita telah dihancurkan, itulah
saat kita bagaikan tanah liat yang telah dihancurkan untuk siap dibentuk ulang
secara baru. Jika dalam saat demikian, kita salah mengerti dan memberontak,
kita telah berlaku bodoh dan merugikan diri kita sendiri. Sebagian tidak tahan
dalam kegelapan yang kelam ini sehingga ia mencari pengalaman rohani palsu yang
menimbulkan gairah dalam hatinya yang kering, tetapi tindakan ini justru
mengganggu program Tuhan. Guru-guru palsu telah menawarkan pengalaman agama
palsu untuk mengisi kekeringan yang seharusnya diisi oleh Tuhan, akibatnya
kepekaan rohani mereka menjadi tumpul. Apa yang mestinya kita miliki pada
saat-saat seperti ini ialah berdiam diri di hadapan Allah dan menantikan Tuhan.
Manusia tidak selalu menolong, terkadang mereka justru menjadi pengganggu yang
mengalihkan perhatian kita dari suara Tuhan. Nabi Yesaya berkata: “dengan
bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan
percaya terletak kekuatanmu.” Tetapi kamu enggan, kamu berkata, ‘Bukan, kami
mau naik kuda dan lari cepat’, maka kamu akan lari dan lenyap. Katamu pula,
‘Kami mau mengendarai kuda tangkas’, maka para pengejarmu akan lebih tangkas
pula.” (Yesaya 30:15-16).
Setiap kali kita mengalami kesulitan, carilah
maksud Tuhan dalam situasi yang kita hadapi itu. Jangan kita dilumpuhkan oleh
kesulitan, tetapi temukan ‘mutiara’ (berkat rohani) di balik kondisi sulit itu.
Justru saat di dalam di penjara, Paulus menulis surat-suratnya yang paling
penting dan menjadi berkat besar bagi gereja Kristen sepanjang masa, yaitu
surat Efesus, Filipi, Kolose, Filemon dan Roma. Demikian juga saat dipenjarakan
John Bunyan menulis Pilgrim Progress, karya sastra alegoris
terindah dan bermutu tinggi di antara literatur Kristen. Perhatikanlah respon
kita dalam masa-masa sulit itu supaya jangan kesulitan itu dilewati tanpa mendapatkan
berkat rohani dari Tuhan itu. Amin.