FULL TIME
PASTOR, part-time pay ?
Beberapa
waktu lalu di suatu sore, saya bertemu dengan serombongan orang-orang yang saya
tahu bahwa mereka adalah para hamba Tuhan dan gembala jemaat yang sedang
berkumpul di suatu tempat makan dalam mall di bilangan Jakarta Barat. Mereka
tampak begitu asyik berbicara, berdiskusi satu sama lain dan tema yang mereka
bicarakan ternyata bukan tentang firman Tuhan atau program-program gereja.
Kemenangan seorang calon wakil gubernur suatu Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah)
ternyata telah menjadi ilham bagi sebagian mantan tim sukses (relawan) secara
tidak langsung untuk turut ‘memetik’ buah manis, lewat proyek-proyek yang
mungkin akan dimasukkan saat birokrat baru itu memerintah.
Selidik punya selidik ternyata mantan
anggota tim relawan tersebut adalah seorang hamba Tuhan (atau tepatnya gembala
jemaat) aktif yang masih melayani dan menggunakan waktu di sela-sela
pelayanannya (yang semestinya sangat sibuk) untuk turut membantu mendukung
salah satu peserta Pilkada. Dalam
artikel yang sederhana ini tidak dibahas mengenai peran serta gereja dalam
politik, tetapi yang ingin disoroti adalah ‘peran ganda’ gembala tersebut. Sebagai
gembala dengan tugas utama yang semestinya sudah sangat sibuk dengan pelayanan
gerejawi yang meliputi visitasi jemaat, bimbingan dan koseling, melayani
khotbah mimbar dengan persiapan yang tidak singkat, dan tugas-tugas kependetaan
lainnya, ternyata masih bisa meluangkan waktunya untuk hal-hal yang tidak
bersinggungan langsung dengan peningkatan kerohanian jemaat yang
digembalakannya. Masalah menjadi semakin ruwet tatkala gembala yang akhirnya
menjadi sangat dekat sebagai ‘penasehat informal’ birokrat yang baru menang
tesebut berusaha ‘dimanfaatkan’ sebagai perantara dari orang-orang bisnis atau
rekanan bisnis dari gembala jemaat lainnya untuk suatu proyek yang akan
ditenderkan.
Ada lagi seorang pengkhotbah terkenal yang
seandainya dia mau fokus saja dalam pelayanannya sebagai pendeta, maka pastilah
tidak berkekurangan secara materi sebagai salah satu bukti pemeliharaan Tuhan.
Pada kenyataannya pengkhotbah terkenal tersebut punya banyak bisnis sampingan,
mulai dari usaha berbasis pertanian/perkebunan, lembaga keuangan sampai kepada
bisnis berskala besar lainnya (batu bara, minyak, dll). Suatu saat dalam suatu
kesempatan makan siang, pengkhotbah tersebut begitu sibuk mendapat telepon
bisnis selayaknya businessman dan
sesekali berkata dengan entengnya bahwa dia tidak dapat ditemui, karena sedang
ada di luar kota sekarang (berbohong).
Kedua contoh nyata di atas adalah bukti
betapa menyedihkannya praktek hidup post-modernisme yang ternyata sudah
merasuki para hamba-hamba Tuhan di kota-kota besar d Indonesia. Kalau pada
era-era tahun 1970-an di mana mal mungkin belum banyak, kita amat jarang menjumpai
hamba Tuhan sedang kongkow-kongkow di
sebuah toko pembelanjaan, maka sekarang ini pemandangan seperti itu tidak lagi
menjadi tabu.
Kebutuhan dan kesumpekan
masyarakat urban memang tidak terhindarkan untuk mencari tempat-tempat meeting-point yang diharapkan dapat
merelaksasi kehidupan yang semakin sulit dan menghimpit ini. Kebutuhan ekonomi,
kebutuhan aktualisasi diri seringkali menjadi alasan bahwa manusia di era
post-modernisme membutuhkan cara-cara dan pengekspresian diri seperti itu. Maka
tidaklah heran bila sekarang ini kita seringkali menemukan orang-orang yang
begitu menikmati ‘tempat nongkrong’ di coffee shop atau café-café ternama,
termasuk orang-orang dengan label hamba Tuhan. Label hamba Tuhan tidak lagi
identik dengan pengertian yang dimilki gereja yang konservatif, yang harus
membawa Alkitab kemanapun pergi atau mungkin juga gaya berbusana yang melekat
terhadap label tersebut. Kalau tidak mengenal sebelumnya, mungkin sulit kita
membedakan yang mana orang biasa dan yang mana hamba Tuhan dan yang mana
seorang businessman dalam suatu café.
Kembali kepada contoh kejadian nyata di
atas, ternyata dari antara hamba Tuhan yang hadir untuk bertemu dengan
pengusaha yang memiliki tender, terselip harapan bahwa ada suatu bisnis
sampingan yang mungkin didapatnya. Berbisnis sampingan bisa sementara, tetapi
mungkin juga bisa selamanya. Yah, hitung-hitung tambah penghasilan dari
pekerjaan (baca : panggilan hidup) utama sebagai hamba Tuhan.
Yang menjadi pertanyaan bolehkah atau
mungkin lebih tepat lagi apakah etis seorang hamba Tuhan berprofesi ganda (bivocational pastor) ? Kalau boleh apa alasannya dan kalau tidak
boleh apa juga yang menjadi dasar alasannya ?
Seorang pendeta yang telah mengaku
terpanggil secara penuh waktu melayani Tuhan sejak dahulu sudah diajarkan
"konsep tabu" kalau disamping pelayanan, ia kemudian mendua hati juga
terjun ke dalam dunia bisnis. Bisnis yang dimaksud dalam hal ini adalah dagang/usaha/jasa
yang mengeruk keuntungan. Artinya,
pendeta tersebut selain menjadi pendeta yang berkhotbah, menjalankan sakramen,
dll juga seorang pekerja sekuler, misalnya:
dokter, pemimpin perusahaan, dll. Pekerjaan sekuler yang dimaksud di sini tidak termasuk menjadi profesor/dosen teologi, karena menjadi dosen teologi berkaitan dengan pelayanan gerejawi.
Hal ini tidak
berarti ada dikotomis dualisme antara sacred(kudus) atau spiritual (rohani)
dengan secular (sekuler), karena segala profesi bagi anak-anak
Tuhan termasuk hal rohani. Dalam
tulisan ini sengaja dibedakan, karena ini konteksnya hanya untuk pendeta atau hamba Tuhan yang
melayani sebagai full-timer di gereja. Profesi ini (bivocational pastor) sering
diidentikkan dengan part-time pastor (atau pendeta paruh
waktu), namun menurut Ray Gilder, seorang koordinator nasional dari Bivocational
And Small Church Leadership Network, bivocational pastor tidak
bisa disebut part-time, karena seorang pendeta disebut part-time kalau
ia hanya sesekali atau 2 kali melayani/berkhotbah di
gereja, padahal seorang pendeta yang memiliki 2
panggilan ini (bivocational pastor) tetap seorang pendeta penuh waktu (full-time) yang
berkhotbah dan melayani pekerjaan-pekerjaan yang tak terpisahkan dari perannya
sebagai hamba Tuhan/pendeta/gembala di gerejanya tersebut