Minggu, 28 Oktober 2012


FULL TIME PASTOR, part-time pay ?

          Beberapa waktu lalu di suatu sore, saya bertemu dengan serombongan orang-orang yang saya tahu bahwa mereka adalah para hamba Tuhan dan gembala jemaat yang sedang berkumpul di suatu tempat makan dalam mall di bilangan Jakarta Barat. Mereka tampak begitu asyik berbicara, berdiskusi satu sama lain dan tema yang mereka bicarakan ternyata bukan tentang firman Tuhan atau program-program gereja. Kemenangan seorang calon wakil gubernur suatu Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) ternyata telah menjadi ilham bagi sebagian mantan tim sukses (relawan) secara tidak langsung untuk turut ‘memetik’ buah manis, lewat proyek-proyek yang mungkin akan dimasukkan saat birokrat baru itu memerintah.

          Selidik punya selidik ternyata mantan anggota tim relawan tersebut adalah seorang hamba Tuhan (atau tepatnya gembala jemaat) aktif yang masih melayani dan menggunakan waktu di sela-sela pelayanannya (yang semestinya sangat sibuk) untuk turut membantu mendukung salah satu peserta Pilkada.  Dalam artikel yang sederhana ini tidak dibahas mengenai peran serta gereja dalam politik, tetapi yang ingin disoroti adalah ‘peran ganda’ gembala tersebut. Sebagai gembala dengan tugas utama yang semestinya sudah sangat sibuk dengan pelayanan gerejawi yang meliputi visitasi jemaat, bimbingan dan koseling, melayani khotbah mimbar dengan persiapan yang tidak singkat, dan tugas-tugas kependetaan lainnya, ternyata masih bisa meluangkan waktunya untuk hal-hal yang tidak bersinggungan langsung dengan peningkatan kerohanian jemaat yang digembalakannya. Masalah menjadi semakin ruwet tatkala gembala yang akhirnya menjadi sangat dekat sebagai ‘penasehat informal’ birokrat yang baru menang tesebut berusaha ‘dimanfaatkan’ sebagai perantara dari orang-orang bisnis atau rekanan bisnis dari gembala jemaat lainnya untuk suatu proyek yang akan ditenderkan.
     Ada lagi seorang pengkhotbah terkenal yang seandainya dia mau fokus saja dalam pelayanannya sebagai pendeta, maka pastilah tidak berkekurangan secara materi sebagai salah satu bukti pemeliharaan Tuhan. Pada kenyataannya pengkhotbah terkenal tersebut punya banyak bisnis sampingan, mulai dari usaha berbasis pertanian/perkebunan, lembaga keuangan sampai kepada bisnis berskala besar lainnya (batu bara, minyak, dll). Suatu saat dalam suatu kesempatan makan siang, pengkhotbah tersebut begitu sibuk mendapat telepon bisnis selayaknya businessman dan sesekali berkata dengan entengnya bahwa dia tidak dapat ditemui, karena sedang ada di luar kota sekarang (berbohong).
     Kedua contoh nyata di atas adalah bukti betapa menyedihkannya praktek hidup post-modernisme yang ternyata sudah merasuki para hamba-hamba Tuhan di kota-kota besar d Indonesia. Kalau pada era-era tahun 1970-an di mana mal mungkin belum banyak, kita amat jarang menjumpai hamba Tuhan sedang kongkow-kongkow di sebuah toko pembelanjaan, maka sekarang ini pemandangan seperti itu tidak lagi menjadi tabu.
Kebutuhan dan kesumpekan masyarakat urban memang tidak terhindarkan untuk mencari tempat-tempat meeting-point yang diharapkan dapat merelaksasi kehidupan yang semakin sulit dan menghimpit ini. Kebutuhan ekonomi, kebutuhan aktualisasi diri seringkali menjadi alasan bahwa manusia di era post-modernisme membutuhkan cara-cara dan pengekspresian diri seperti itu. Maka tidaklah heran bila sekarang ini kita seringkali menemukan orang-orang yang begitu menikmati ‘tempat nongkrong’ di coffee shop atau café-café ternama, termasuk orang-orang dengan label hamba Tuhan. Label hamba Tuhan tidak lagi identik dengan pengertian yang dimilki gereja yang konservatif, yang harus membawa Alkitab kemanapun pergi atau mungkin juga gaya berbusana yang melekat terhadap label tersebut. Kalau tidak mengenal sebelumnya, mungkin sulit kita membedakan yang mana orang biasa dan yang mana hamba Tuhan dan yang mana seorang businessman dalam suatu café.
     Kembali kepada contoh kejadian nyata di atas, ternyata dari antara hamba Tuhan yang hadir untuk bertemu dengan pengusaha yang memiliki tender, terselip harapan bahwa ada suatu bisnis sampingan yang mungkin didapatnya. Berbisnis sampingan bisa sementara, tetapi mungkin juga bisa selamanya. Yah,  hitung-hitung tambah penghasilan dari pekerjaan (baca : panggilan hidup) utama sebagai hamba Tuhan.
     Yang menjadi pertanyaan bolehkah atau mungkin lebih tepat lagi apakah etis seorang hamba Tuhan berprofesi ganda (bivocational pastor) ?  Kalau boleh apa alasannya dan kalau tidak boleh apa juga yang menjadi dasar alasannya ?
     Seorang pendeta yang telah mengaku terpanggil secara penuh waktu melayani Tuhan sejak dahulu sudah diajarkan "konsep tabu" kalau disamping pelayanan, ia kemudian mendua hati juga terjun ke dalam dunia bisnis. Bisnis yang dimaksud dalam hal ini adalah dagang/usaha/jasa yang mengeruk keuntungan. Artinya, pendeta tersebut selain menjadi pendeta yang berkhotbah, menjalankan sakramen, dll juga seorang pekerja sekuler, misalnya: dokter, pemimpin perusahaan, dll. Pekerjaan sekuler yang dimaksud di sini tidak termasuk menjadi profesor/dosen teologi, karena menjadi dosen teologi berkaitan dengan pelayanan gerejawi.
Hal ini tidak berarti ada dikotomis dualisme antara sacred(kudus) atau spiritual (rohani) dengan secular (sekuler), karena segala profesi bagi anak-anak Tuhan termasuk hal rohani.  Dalam tulisan ini sengaja dibedakan, karena ini konteksnya hanya untuk pendeta atau hamba Tuhan yang melayani sebagai full-timer di gereja. Profesi ini (bivocational pastor) sering diidentikkan dengan part-time pastor (atau pendeta paruh waktu), namun menurut Ray Gilder, seorang koordinator nasional dari Bivocational And Small Church Leadership Networkbivocational pastor tidak bisa disebut part-time, karena seorang pendeta disebut part-time kalau ia hanya sesekali atau 2 kali melayani/berkhotbah di gereja, padahal seorang pendeta yang memiliki 2 panggilan ini (bivocational pastor) tetap seorang pendeta penuh waktu (full-time) yang berkhotbah dan melayani pekerjaan-pekerjaan yang tak terpisahkan dari perannya sebagai hamba Tuhan/pendeta/gembala di gerejanya tersebut